"Kamu... Nastya anaknya Anggita kan ya?"
***
"Kamu... anaknya Anggita kan ya?"
"Eh iya tante..." ucapku tidak enak. Tentu saja nggak enak, aku kan orang yang udah buat anaknya masuk rumah sakit ini!
Entah kenapa mama Bena terlihat 'biasa saja' melihatku, maksudku beliau emang khawatir dan panik saat Bena operasi tadi, tapi beliau tidak ada sedikitpun marah padaku yang sudah membuat anaknya kecelakaan.
Apa karena aku cantik?
Entahlah.
"Nastya kenapa belum pulang? Anggita pasti nungguin di rumah kan? Udah sore loh ini." katanya lagi.
Yeah memang benar sudah jam 18.00. Keasyikan menunggu Bena, aku sampai lupa akan waktu.
"Nastya belum makan ma, lebih baik aku order'ín makanan dulu kesini." Bena mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu menaruhnya kembali.
"Aduh nggak usah repot-repot, ini mau pulang kok... mau makan di rumah aja." aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Dokter satu ini selalu saja membuatku terlihat menyusahkan di mata orang lain!
"Iya Nastya, lebih baik makan dulu, kamu pasti belum makan dari pagi bukan?"
"Nastya jadi nggak enak nih tante." jawabku sungkan.
Beberapa saat dalam kebisuan yang sangat menyebalkan, makanan pun akhirnya datang. Akhirnya... ucapku dalam hati, aku ingin segera keluar dari kecanggungan ini!
"Nah ayok dimakan Nastya..."
"Biarin aja dia makan di rumah ma, Bena beli satu porsi juga buat Anggita." Bena memberikan kresek berisi makanan online tadi padaku, secara tidak langsung juga menyuruhku segera keluar ruangannya.
"Baik. Mari tante juga om." ucapku sambil memutar mata, menghilangkan pertanyaan kenapa keluarga itu mengetahui mama dan terlihat baik padaku. Sebelum pamit pulang, kuberikan senyuman mengagumkan untuk keluarga itu.
Ungkapan terima kasih karena sudah menyusahkan mereka.
***
Kulangkahkan kakiku dengan gontai masuk ke ruang rawat Bena, melihat dokter itu masih tidur buatku lebih leluasa menutupi raut kesedihanku ini.
Sebenarnya dikala sedih seperti ini aku ingin sekali menyendiri, menumpahkan kesedihanku agar tidak ada orang yang bisa melihatnya, tapi aku masih punya tanggung jawab yang besar pada Bena, Bena dan kedua orang tuanya sudah berbaik hati menolongku kemarin, jika aku meninggalkannya begitu saja, sepertinya bukan hal yang sopan untuk dilakukan.
"Dasar dokter sombong, kan lumayan tuh dapet motor baru." dumelku sebal melihat Bena yang masih terlelap dalam tidurnya.
For your information saja, motorku tidak terjadi apa-apa akibat insiden kemarin, mungkin hanya lecet sana-sini, tapi itupun udah diatasi oleh pihak bengkel, dan pihak bengkel pun juga berbaik hati memberikan kunci motor baru padaku sebagai permintaan maaf atas kelalaian mereka. Tadinya kuucapkan tidak usah, karena yang paling terluka disini adalah Bena, tapi mereka memaksa agar aku menerima, ya sudah aku pun menerimanya.
Tidak kusangka juga pihak bengkel itu juga menawarkan kunci pada Bena tapi ditolaknya dan malah memberikannya pada amang yang dia pinjami motornya ketika menolongku kemarin karena menurutnya orang itulah yang berhak memilikinya—setidaknya itulah yang kudengar dari pihak bengkel saat mengantarkan kunci tadi.
"Sepertinya sikap menggerutu itu udah jadi bawaanmu ya?"
"Eh..." kataku kaget. Kukira Bena beneran sedang tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...