Mr. Perfectly Fine (21) - Mr. Breaking Down and Coming Undone

1.3K 70 0
                                    

Ternyata naik gaji ngga seindah nerima duit nya.

***

Saat sudah turun dari mobil salah satu kru di depan rumah, aku menyirit aneh melihat keadaan rumahku dalam keadaan gelap-gulita.

Mama kemana?

Saat masuk dan membuka pintu, pintu pun terkunci hingga aku harus mengeluarkan kunci cadangan yang disatukan dengan kunci motor yang untungnya sering kali aku bawa. Setelah pintu terbuka, langsung saja kunyalakan saklar lampu.

Mama tidak ada di kursi ruang tamu, tidak biasanya juga mama mengunci pintu rumah—yang jarang sekali dia lakukan, mungkin malam ini menjadi malam penolakan mama karena aku kembali pulang malam, mungkin dia kesal jadi nggak mau nungguin lagi.

Setelah lampu menyala langsung kucari keberadaan mama, biasanya mama selalu tidur di ruang tamu karena menungguiku, tapi karena kali ini tidak ada, kucoba mendatangi segala sudut rumah lantai bawah.

Kubuka kamar mama, tidak menemukan wanita cantik itu disana. Dengan panik kutekan angka emergency pada ponsel dan terdengar nada menyambung—tapi tidak terangkat.

Aku mulai panik dan mulai berpikir aneh-aneh. Mama tidak angkat telepon! Dengan panik kucari nomor Bena karena kurasa mama pasti bersama tuan muda satu itu! Baik aku maupun mama tidak punya siapapun di Jakarta ini, dan kurasa mama tidak akan mungkin meninggalkanku di Jakarta dengan berdalih pergi keluar kota untuk menemui saudara kami di luar sana.

"Halo?" jawab Bena setelah nada sambung terdengar.

"Ha- hallo? Oh thanks god, mama? Mama ilang! Mam—"

"Anggita ada bersamaku."

"MAMA ADA SAMA KAMU? KALIAN DIMANA?" tanyaku panik. Mama tidak biasanya seperti ini, meninggalkanku di rumah dalam keadaan apapun.

"Tenangkan dirimu, mama ada bersamaku di rumah sakit—hei tenang oke? Everything is gonna be okay." Bena mengucapkannya dengan terburu-buru—mungkin karena mendengarku sedikit terhenyak tadi.

Tapi...

Kenapa mama di rumah sakit?!

***

Kulihat mama sedang terbaring di kasur VIP ditemani aroma therapy yang sengaja Bena pasang untuk membuat udara sekitar tetap terjaga dan steril.

"Mama... kenapa ada disini?" tanyaku dengan lirih pada Bena.

"Tenanglah, Anggita hanya kelelahan, kurang tidur, kurang makan, dan darah rendah."

"Kenapa? Tadi Mama baik-baik aja kok, aku liat pas pagi dia kelihatan... pucat." kataku baru menyadari bahwa pagi tadi mama tidak terlihat baik-baik saja, wajahnya pucat dan terlihat lemah, mungkin karena itu juga mama tidak mendebatku ketika kami berselisih paham tadi pagi.

"Aku sudah menyadari Anggita tifus saat menjemputmu tadi pagi."

"LALU KENAPA KAMU NGGAK KASIH TAU AKU!"

"Stttttttt, tenanglah. Tadinya akan kuberitahu, tapi kamu tidak mau dengar." ucap Bena dengan menyilangkan kedua tangannya.

Seketika kilasan pagiku yang begitu bergemuruh kembali terulang. Benar, tadi pagi aku tidak mau mendengar apapun yang Bena katakan, aku hanya terfokus pada amarah dan egoku.

"Jika ingin marah, cobalah untuk mendengar terlebih dahulu ucapan lawan bicaramu, kebanyakan orang lebih mementingkan diri sendiri saat marah, hingga tidak mendengarkan orang lain. Mungkin jika kamu mendengarkanku tadi pagi, Anggita akan dilarikan kesini denganmu sebagai wali nya."

Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang