Tapi, hingga hari menjelang tengah malam aku melupakan permintaan mama itu.
***
Kudatangi rumah sakit dengan berlinang air mata. Aku lupa untuk menghubungi mama, dan ini sudah tengah malam. Aku benar-benar bodoh dan hanya bisa merutuki diriku sendiri karena sudah lost contact dengan mama hari ini.
Terngiang dengan jelas wajah mama yang pucat terlihat berharap agar aku bisa bersamanya hari ini. Aku pukul kepalaku sendiri, merutuki lagi bagaimana idiotnya aku dalam membagi waktu yang hanya kumiliki sekali dan tidak bisa kuulang.
Dengan tergesa-gesa kuhentikan taxi yang sudah stand by depan kantor. Kuucapkan tujuanku dengan tergesa pula, merasa tidak enak dengan perasaanku sendiri.
Kucoba menelepon mama, tapi tidak diangkat sama sekali. Takut, panik yang melanda hingga tidak sadar membentak driver taxi yang terlalu lambat mengemudikan mobilnya.
"Saya lagi keadaan genting pak, bisa gak sih lebih cepat lagi bawanya?"
"Neng! Kalau neng nya ribut gini, cari taxi lain aja deh neng, saya masih punya keluarga yang harus saya hidupi, kalo neng mau mati duluan ya silahkan aja, jangan bawa-bawa saya yang masih punya keluarga ini." mungkin supir taxi itu juga kesal dengan acara gurung-gusuhku malam ini, dan itulah jawabannya. Jawaban supir taxi sama persis seperti apa yang diucapkan mama tempo hari.
Tapi semakin kupikirkan semakin tidak tenang, entah bagaimana apapun yang menjadi urusanku hari ini, selalu dikaitkan dengan mama, dan hal itu membuatku tidak tenang. Sebulan sudah kujalani aksi sibukku ini, dan baru kali ini aku merasa durhaka pada orang tuaku satu-satunya—papa tidak termasuk hitungan dalam situasi ini.
Setelah sampai langsung saja kutuju kamar mama, tapi... dari kejauhan ada yang aneh dari pintu VIP itu, tadi pagi pintu tersebut memancarkan kehangatan tapi, hal itu tidak terlihat malam ini seakan... kehangatan pagi tadi tidak pernah ada.
Kucoba untuk tenang menanamkan pikiran bahwa dengan tenang semua akan baik-baik saja. Didepan pintu, kuhela nafas memastikan bahwa tidak salah kamar. Pintu terbuka dan keheningan yang menyapaku pertama kali.
Kucoba menenangkan diri dan melangkah menuju sudut-sudut kamar—aku tau aku bodoh tapi kurasa aku melakukan semua ini tanpa sadar.
Kucoba kembali menelpon mama tapi tidak juga diangkat lalu kucoba lagi untuk menelpon Bena—karena saat perjalanan tadi tuan muda itu tidak kunjung mengangkat telepon.
Kali ini berdering kemudian berganti dengan nada ditolak tanda sebuah reject-an. Kucoba kembali menelpon tapi kembali yang kudapat adalah reject. Dengan kesal, kulangkahkan kakiku menuju ruangan Bena membuka dengan kasar pintu ruangan itu.
"APA MAKSUD LO NOLAK TELPON GUE?!" teriakku dengan kalap. Aku tak tenang malam ini rasanya semua tidak berjalan sesuai dengan apa yang kumau, dan Bena semakin membuatnya runyam!
"Ada apa?"
Ucapan singkat Bena semakin membuatku emosi. Perasaanku yang sudah kalut semakin bertambah karena jawaban pria itu yang semakin menyulut emosiku.
"DIMANA MAMA?"
"Baru sekarang kamu ingat punya mama?!"
"Apa maksud kamu?"
"Kemana aja kamu selama sebulan ini?"
"Aku kerja! Aku cari uang." jawabku dengan berani. Benar bukan? Aku memang cari uang.
"Untuk siapa?!"
"Tentu untuk mama dan kehidupan kami."
"Apa Anggita minta agar kehidupannya jadi lebih baik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...