"Kami akan segera kesana dan tolong urus dokumen-dokumen mendiang Ny. Anggita." itulah yang Bena ucapkan ketika asistennya mengetuk memergoki kami.
***
"Baik dokter, akan segera saya bereskan."
Itu mama?
"MAMA?!"
"Sssshhhh tenanglah Nastya."
Aku menatap Bena dengan pandangan buram, segala perasaan bergemuruh di dalam dada. Aku tidak bisa berpikir apapun selain memori tentang mama yang menghantam kepalaku.
Kilasan mama yang berjuang untuk menguliahkanku, kilasan mama sedih, senang, dan khawatir, segalanya berputar dalam otak dan perasaan. Aku tidak bisa hidup tanpa mama, tidak bisa sama sekali! Mama selalu ada disampingku dan aku akan bertaruh untuk apapun demi mama, ya demi mama!
"Nastya? Hei!"
Tidak bisa kudengar apapun lagi, kalimat Bena sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa mama tidak lagi ada disampingku, menyayangiku, melindungiku, dan itu... membuatku tidak tenang.
Kilasan tentang kolam, air, kecerobohan, dan ketololanku kembali meluap seakan-akan menyerbu untuk menghakimi, dan menyalahkanku atas semuanya.
Mengapa semua ini terasa tidak asing? Rasa bersalah dan penghakiman ini benar-benar membelengguku.
Sebenarnya aku, dimana?
Aku... kenapa?
Kenapa semua terasa begitu... menakutkan?
"Hei hei tenanglah." itu suara Bena.
Tapi kenapa suaranya... begitu jauh?
Pria itu ada persis ada di depan mataku, menatapku dengan matanya yang jernih serta kepanikan yang terlihat di matanya. Aku menatapnya, sungguh ciptaan Tuhan yang satu ini benar-benar tiada cela.
Tapi aku hanya diam, menatapnya yang terlihat panik. Aku masih diposisi yang sama ketika kami berciuman tadi, diam... dan membatu.
Rasa hangat yang ditinggalkan Bena tadi semakin memudar dan kini yang kurasakan hanya dingin, seperti di kutub utara. Bukan tubuhku saja yang membatu tapi hatiku, hatiku juga! Semuanya perlahan mendingin, menggelap, dan aku...
...kehilangan harapan.
Saat adikku meninggalkan kami, aku masih bisa terima—walaupun sulit, tapi untuk mama... tidak, aku tidak bisa! Sama sekali tidak bisa!
Mama adalah duniaku, mama adalah harapanku, mama adalah kegembiraanku, dan mama adalah segalanya, segala yang ada di bumi ini tidak ada artinya tanpa mama, tanpa kehangatannya.
Duniaku... perlahan hancur.
Semua ini... pasti karenaku!
Menghancurkan diri karena kesalahan sendiri adalah mahakarya ketololan yang sering kulakukan dan itu adalah keahlianku! Andai saja kebodohan tadi pagi tidak terjadi...
Kau bodoh sekali Nastya!
Karena kebodohanku, atau andaikan saja tadi pagi aku tidak terbuai kenikmatan dunia mungkin saat ini, saat ini aku sudah ada di pelukan mama, menenangkannya, dan mengatakan bahwa dia baik-baik aja dan masih bisa bersamaku esok hari, esok lusa, dan esok seterusnya hingga aku melahirkan cucu-cucu cantik serta tampan untuknya.
"Nastya... sadarlah." Bena mengguncangkan tubuhku berkali-kali tapi aku tidak meresponnya.
...lebih tepatnya tubuhku yang tidak mau merespon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...