Tersenyum menatap langit, berterima kasih.
***
Kubuka mataku dan melihat seluruh keluarga Bena sudah mengelilingi. Semua orang terlihat panik dan hanya terfokus pada wajahku, kulihat juga tanganku digenggam erat oleh tangan hangat, sama hangatnya dengan sarung tangan yang menghangatkan dikala dingin melanda.
Bena.
"Kok aku masih disini?" itulah kata pertama yang kuucapkan, membuat semua semua orang diruangan kaget.
Aku mencoba bangun dan merasakan tubuhku lemas. Tautan tangan kami terlepas, dan tatapan mata Bena berubah menjadi dingin. Tidak ada lagi raut khawatir dalam muka nya, kini yang terlihat adalah siratan kemarahan.
"Masih disini kamu bilang?"
"Yeah, harusnya aku sudah ketemu mama saat ini." ucapku tanpa beban.
"Say it again?" tanya Bena memastikan.
"Harusnya aku sudah ketemu mama." ucapku memperjelas
"SHIT! Jadi kamu sengaja? Kamu sengaja ngelakuin itu? Kupikir—shit! Sia-sia kupikir—"
PLAKK!
"Astaga, ma!"
Belum sempat Bena melanjutkan ucapannya, sebuah suara tamparan terdengar. Kurasakan pipiku yang kebas dan menatap tidak percaya pada orang yang berani melakukannya. Belum sempat aku berbicara,
"KAMU PIKIR NYAWA ITU BISA DIMAIN-MAININ?! APA KAMU PIKIR DENGAN MELAKUKAN HAL ITU KAMU AKAN KETEMU ANGGITA?! SAYA TAU KAMU ORANG YANG BERPENDIDIKAN, TAPI KOK BISA YA KAMU BERTINDAK SEBODOH ITU?! APA KAMU TAU KAMI SEMUA KAGET KETIKA MENDENGAR KEADAAN KAMU?!"
"...KAMU TIDAK BERPIKIR PANJANG TENTANG APA YANG AKAN TERJADI SELANJUTNYA BUKAN? KAMU TIDAK BERPIKIR BAGAIMANA KAMI, NAMA KELUARGA KAMI AKAN IKUT TERBAWA KARENA KELAKUANMU ITU?!"
"MA—" ujar Bena menyela.
"Diem kamu! Mama lagi ngomong sama wanita bodoh ini!"
Kutahan nafas melihat amukan mama Bena. Belum pernah kulihat wanita yang baik dan anggun ini meluap sebegini marahnya. "Lupakanlah tentang nama keluarga saya, karna saya yakin di mata kamu nama keluarga saya tidak penting bukan?!"
No... bukan seperti itu. Keluarga ini penting dimataku, kenyataan bahwa aku terus menjadi beban di keluarga inilah yang membuatku berat. Keluarga ini sangat penting—bodoh rasanya jika kuanggap keluarga ini tidak penting.
"Apa kamu nggak berpikir gimana sedihnya Anggita liat anaknya kaya gini? Berperilaku seakan-akan nyawa itu hal sepele? Apa kamu pernah berpikir betapa banyaknya orang diluar sana ngeluarin uang—bahkan tangisan untuk hidup sehat seperti yang kamu dapatin? Tuhan nggak mau maafin hambanya kalau kamu berkelakuan nekat kaya tadi Nastya!"
"—kamu harusnya berpikir kesana, saya tau kamu sedang frustasi, dan juga depresi akan masalah ini, tapi kenapa kamu nggak bisa berpikir kesana?" wajahnya memerah, tangannya terkepal erat menahan segala tumpahan emosi. Wanita yang kulihat penuh kehangatan itu mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya yang terlihat kesusahan menahan tubuhnya sendiri agar tidak bertindak lebih jauh.
"Sudah ma, sudah." ujarnya menenangkan.
Aku tertunduk dan berharap Bena menolongku kali ini, biasanya dia selalu menolongku tapi sampai detik ini—detik dimana aku merasa sangat bersalah ia belum juga menolongku.
"APA KAMU BELUM PUAS? Apa permintaan maaf kami masih kurang buat kamu? Saya, suami bahkan anak saya sudah minta maaf akan timbulnya masalah ini, tapi apa masih kurang? Apa masih kurang apa yang kami beri? Kami sudah melindungimu, dan menjagamu. Apa menjaga nyawamu—yang bahkan tidak ada yang mengancam saja sulit Nastya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...