Yeah, setidaknya aku sudah menepati janjiku yang satu itu.
***
Aku sudah siap dengan baju santai. Setelah perbincangan tidak selesaiku dengan papa, aku memutuskan untuk mengucapkan maaf pada Bena. Aku tau bahwa apa yang kulakukan kemarin sangat bodoh, dan sangat wajar untukku meminta maaf padanya.
"Bena nya ada dimana ya tante?"
"Udah kamu check ke kamarnya?"
"Nastya udah kesana dan nggak ada tan, Papa juga nggak ada kira-kira kemana ya?"
"Ah papamu? Tadi dia izin minjem ruang baca buat diskusi katanya."
"Di ruangan perpus rumah ya tan? Oke deh Nastya ke papa dulu ya tan oh iya makan malem bagian Nastya nanti deh Nastya makan, ada yang mau dibicarain dulu sama papa."
"Wahh kayaknya serius ya, nanti kalo mau makan minta angetin ke mbak aja ya."
"Makasih banyak tante." tanpa aba-aba, setelah pamit, langsung kulangkahkan kaki menuju ruang baca atau perpustakaan rumah ini. Selain luas, rumah ini juga menyimpan banyak kamar yang berfungsi bermacam-macam, yeah seperti rumah keluarga kaya pada umumnya.
Setelah melewati ruang gym, di ujung lorong lah ruang baca, kata mama Bena sih ruangan itu sering dipakai keluarga untuk baca. Aku jarang masuk kesana, selain tidak terlalu suka dengan suasananya aku juga bukan tipe manusia yang gemar membaca.
Tok tok tok.
"Pa?"
Setelah pintu sedikit terbuka, hal yang pertama kurasakan dalam ruangan ini adalah pengap dan aroma buku yang mendominasi, cahaya nya temaram didominasi dengan warna earth tone.
Banyaknya rak-rak buku membuatku tidak langsung melihat papa didalamnya, mungkin ada ribuan buku yang menghalangi pandanganku sebelum akhirnya melihat papa. Ruangan ini luas, dengan dua kursi baca berwarna coklat di tengah-tengah ruangan, dikelilingi buku-buku yang aku jamin berisi hal-hal berbau keuangan, manajemen, kantor, perusahaan, laba, ataupun saham—sempat kulihat buku-buku itu sekelebat.
"Papa?" panggilku yang dibalas dengan ekspresi terkejut olehnya.
"Nastya! Ada apa?" ucapnya sedikit kaget.
"Papa lagi apa disini? Loh Bena?" ucapku terkejut ketika akan berjalan menuju tempat papa, kulihat tuan muda itu tengah melamun dan juga sama-sama terkejut dengan keberadaanku.
"Kalian ngapain disini?" tanyaku curiga. Ingatanku kembali pada siang tadi, ketika papa belum juga menuntaskan perkataannya, malah menambahnya dengan membawa-bawa nama Bena.
"Kami lagi ngobrol, ada apa manggil papa Nas?" tanya papa.
"Nggak jadi deh." tanyaku sungkan. Tadinya aku akan bertanya mengenai percakapan kami kemarin siang tapi melihat ada Bena disini, rasanya seperti bom bunuh diri dengan membicarakan orang yang dimaksud tepat di depan matanya.
"Sudah malam, saya ijin pamit om." mengembalikan buku yang sedang dibacanya lalu melewatiku begitu saja.
Sepersekian detik kurasakan jantungku berhenti berdetak, rasa bersalahku seakan-akan sudah menumpuk begitu dalam sehingga ketika melihatnya tidak menganggapku seperti ini, rasa nya seperti... menyakitkan.
Aku tau bahwa aku memang salah disini, tetapi aku tidak pernah tau rasanya bisa begitu semenyakitkan.
"Tungg—" aku menahan tangan Bena ketika melihatnya sudah akan menyentuh pintu ruangan dan meninggalkanku dengan rasa bersalah.
"Kayanya dibandingkan ngobrol sama papa, kamu lebih butuh ngobrol sama Bena Nas. Dan Bena, om tau kalo om nggak berhak minta dengan nada memaksa seperti ini tapi bisakah kamu meluruskan masalah kalian? Om akan meninggalkan kalian." ucapan papa jelas-jelas adalah sebuah perintah, dia tidak membiarkan Bena untuk menolak ucapannya, lalu pergi meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...