Seseorang memasuki kamar, membuatku kaget setengah mati melihatnya.
***
"...Bena?" ucapku spontan melihat pintu yang terbuka.
Mungkin saja bukan? Bahwa tuan muda satu itu tidak benar-benar marah dan akhirnya kembali lalu mengucapkan maaf karena sudah merasa sentimentil dengan membanting pintu seperti tadi?
Tapi yang terjadi bukan Bena lah yang membuka pintu tapi...
Tidak disangka dan tidak diduga-duga yang datang ialah,
... Papa.
"Tante sama om tinggalin kalian berdua ya. Kamu kangen kan sama papa?" setelahnya mama Bena meninggalkan kamar yang sudah kuhuni beberapa minggu ini.
Sepersekian detik aku hanya bisa terdiam, menatap pria yang sudah belasan tahun tidak lagi kulihat keberadaannya. Menatapnya di depan pintu dengan gostur tubuh canggung jelas menandakan bahwa dia merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan.
Gerimis turun dengan suasana kelabu, menandakan langit merasakan hal sama denganku—suasana yang tidak bisa kudeskripsikan. Suara AC yang berdengung memecah kesunyian dalam kamar ini—juga detak jarum jam yang terdengar menggelegar di tengah suasana canggung yang tidak bisa kujelaskan.
"Nas..." ucap pria itu memulai pembicaraan. Aku menatap nya dengan jutaan pertanyaan, ada dimana dia selama ini? Bagaimana keadaannya? Bagaimana caranya pria itu bisa hidup? Apa pekerjaannya? Dan kenapa dia meninggalkan kami?
"Anda terlihat baik." ucapku dengan sarkas meleburkan segala pertanyaan yang sudah akan keluar di ujung lidah. Bajunya bagus, kulitnya menghitam dari terakhir kali kulihat, dan terlihat wajahnya yang menua.
"Gimana keadaan kamu Nas? Papa yakin kamu punya banyak pertanyaan, bisa kamu dengarkan papa dulu?" ucapnya dengan wajah memelas—memohon, sepertinya dia yakin sekali bahwa aku akan menolak keadaannya dan tidak akan mendengarkan penjelasannya sama sekali.
Pria itu semakin mendekat kearah ranjang yang kutempati di rumah ini, wajahnya semakin jelas dan semakin terlihat pula kerutan di wajahnya, dengan lingkaran hitam di bawah mata.
"—tinggalin Nastya sendiri." ucapku mengagetkannya. Memangnya dia berekspektasi apa? Berharap aku memandangnya dengan sayang lalu kami berpelukan, lalu memaafkannya? Tentu bukan itu kan?!
"Nas... papa tau papa salah, ninggalin kalian semua, maafin papa. Papa emang bajingan yang nggak bertanggung jawab, papa lari, papa ninggalin kalian bertiga, papa tau papa salah, maafin papa."
"Nastya udah hapus papa dari dulu, ngapain papa balik sekarang? Karena liat Nastya yang bego ini udah sendirian? Papa kasian sama Nastya karna udah nggak punya siapa-siapa lagi jadi papa dateng? Kalo papa dateng cuma buat itu doang Nastya nggak butuh pah, Nastya udah bisa jaga diri, Nastya udah gede, udah bisa nentuin jalan sendiri. Seharusnya papa ada disaat Nastya nggak bisa akan semua itu waktu dulu, ngapain papa dateng saat ini? Disaat Nastya udah bisa segalanya sendiri?"
"Bukan gitu Nas, papa—"
"NASTYA UDAH NGGAK BUTUH PAPA! Ngapain papa dateng lagi?" aku tau bahwa ucapanku ini sangat menyakitkan, tapi rasa kecewa, marah, dan sedih menyergapku dan membuatku muak dengan segalanya!
"Papa nyesel udah jadi bajingan pengecut Nas, papa lari, papa takut ga bisa ngasih apapun kebutuhan kalian, papa takut jadi orang tua yang nggak berguna di depan mata anak-anaknya."
"Papa pergi ninggalin kami hanya karena papa takut? Papa ninggalin kami, mama, adik, dan Nastya karena papa takut nggak bisa ngasih kami kebahagiaan? Terus papa pikir dengan papa pergi gitu aja hanya karena—takut ga bisa ngasih kebutuhan kami tadi bisa buat hidup kami jadi mudah? Apa papa pikir dengan menghilangnya papa bisa nyelesain masalah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...