Mr. Perfectly Fine (11) - Mr. I've Been Waiting All Night to Get Closer

1.6K 70 0
                                    

"Perjanjian itu..."

***

Ketika sadar, hal yang kulihat pertama kali adalah wajah Bena yang sudah basah dengan air bercucuran mengenai wajahku. Jarak wajah kami dekat, bahkan sangat dekat sampai aku tidak bisa mengenali wajahnya sepenuhnya.

Otakku kosong, apa yang terjadi? Setelah beberapa saat kemudian baru kusadari bahwa aku telah terbangun dengan keadaan baik-baik saja. Dengan jantung berdebar, kucoba untuk duduk dan merefresh kembali otakku, bagaimana hal mengerikan ini bisa terjadi dan datang padaku?

"Maafkan aku Nas, aku terpaksa memberi nafas buatan. Ta-tadi jantungmu sudah berhenti berdetak saat ku temukan."

Ah, itu...

Wajah Bena yang panik menyadarkanku bahwa beberapa detik yang lalu, nyawaku sudah diambang batas. Rasa linglung menghampiri, yang bisa kurasakan saat ini hanya jantungku yang berpacu cepat dengan tangan yang terus bergetar.

Kukira tadi adalah hari terakhir aku hidup.

"Ada ap—Astaga Nastya!" Bagus, Chandra, Indra, disusul Daron mendatangiku. Aku tak tau persis siapa yang memanggilku, tapi terlihat sekali bahwa mereka terkejut dengan keadaanku saat ini.

"Aku lelah dan kedinginan, selamat malam semua." ucapku lirih, tubuhku basah, dan angin malam ini cukup membuat badanku kedinginan.

Keempat orang tadi hanya bisa menganggukkan kepala dan mempersilahkan. Tidak ada kata yang terucap satupun dari mereka, mungkin mereka rasa saat ini bukanlah hal yang tepat untuk bertanya, syukurlah mereka menggunakan otak mereka untuk mengerti keadaanku.

Samar-samar kulihat gelas yang tadi kugenggam sudah ada di dasar kolam, tenggelam. Aku tidak berani untuk berspekulasi apapun, aku tidak berani untuk menuduh siapapun disini, aku hanya bisa merasakan pandanganku kosong dengan tangan bergetar.

"Nas-Nastya!" Bena menarikku dalam pelukannya.

Pelukan ini, pelukan hangat yang sedang aku butuhkan. Aku masih berada di sekitar kolam, yang tentu Indra, Chandra, Bagus, dan Daron bisa menyaksikan adegan ini oleh mata mereka.

Adegan ini memang terlihat romantis, tapi bukan itu yang kurasakan sekarang, yang kurasakan sekarang hanyalah dekapan hangat dikala angin malam yang terus menamparku.

"Maafkan aku. Ma—"

Seakan tersadar sesuatu kulepaskan pelukan hangat tersebut. Kulihat tubuh Bena, wajah dan rambutnya yang tertiup angin serta tubuhnya yang terlihat basah tapi mulai mengering karena angin malam menerpa.

Seakan-akan tersadar sesuatu, kilasan ini mengembalikanku pada kilasan kejadian beberapa jam yang lalu saat pria ini membentakku karena sudah menuduh temannya sembarangan.

"Maaf kamu bilang?! Aku sudah bilang dari tadi pagi Bena! Aku butuh bantuanmu! Jelas-jelas ada seseorang yang mendorongku! Mendorongku tadi!" perkataanku bergetar karena emosi yang tertahan juga kondisiku yang sedang kedinginan dengan tubuh bergetar.

Walaupun tidak semeledak dan mengeluarkan emosi seperti tadi, setidaknya ada sedikit kekuatan untukku agar bisa berdebat dan menyalahkan Bena.

Kulihat ekspresi Bena yang masih mencerna ucapanku, sepersekian detik dia tidak mengatakan apapun, hanya diam dengan ekspresi yang tidak bisa tertebak. Sepertinya tuan muda satu itu tidak mempercayaiku, lagi.

Yeah, lagi.

"Aku sudah bilang kalo aku diancam sama teman laknatmu itu tapi kamu nggak pernah dengerin aku, kamu tidak pernah mau mendengarkan!" ucapku mengeluarkan segala kekecewaanku padanya, pada Bena yang sama sekali tidak percaya pada perkataanku.

Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang