"Aku nggak bisa Nas, aku gak bisa lepas tangan gitu saja."
***
"Apa orang tua kamu udah tau kalau..." aku malu, tentu saja. Setelah perbuatan tercelaku pada Bena kemarin pria ini masih saja memikirkanku, memikirkan akan seperti apa jika aku ditinggalkan.
"Mereka tau, kalau mereka nggak memperbolehkan pun aku akan tetap bawa kamu pergi dari rumah." ujar Bena dengan pandangan lurus ke jalanan.
Ya, aku akhirnya setuju untuk pergi dengannya.
Aku packing dengan singkat tadi, dan Bena pun langsung bergegas memboyongku ke mobil, alasannya agar kami tidak terjebak wartawan katanya.
Diperjalanan kulihat handphone, mengecheck berita-berita yang sudah banyak beredar, di sana banyak sekali yang mengatakan bahwa Bena membawa orang gila ke rumah sakit,
... dan wanita gila itu aku.
Mereka menjelek-jelekanku. Dan banyak sekali berita di luar kendali ketika aku baca, ada yang mengatakan bahwa aku sudah membunuh orang, melukai puluhan pasien, dan mereka juga menuliskan bahwa akulah pembunuh mama.
Dadaku sakit.
Mereka... mereka benar untuk berita yang terakhir.
Akulah, akulah yang telah membunuh mama.
Mama meninggal... karenaku.
Karena perbuatanku.
Air mataku berurai, kucoba untuk menghapusnya tapi dadaku tidak kuat, aku tidak kuat untuk sekedar menghapus air mata saja.
"Hei-heu... what's wrong?"
Aku malu sebenarnya pada Bena, lagi-lagi dia melihatku yang rapuh padahal sebenarnya aku tidak mau terlihat seperti itu di dekatnya, disampingnya. Aku tidak mau terlihat seperti itu.
Tapi kenapa? Kenapa hal buruk yang terjadi padaku selalu ada dia, entah hal buruk terjadi karenanya atau karena ia yang selalu ada disaat aku tertimpa.
Kenapa?
Aku ingin terlihat baik-baik saja di dekatnya, aku tidak mau ia melihatku dengan kasihan, dan menolongku karena rasa itu.
Bena mengulurkan tangannya, tapi segera kutangkis.
Aku tidak mau terlihat seperti beban dimatanya, apalagi dilihat sebagai wanita rapuh yang ketika ada masalah dihadapi dengan tangisan.
"Aku... aku yang bunuh mama." kataku dengan lirih. Baru kusadari bahwa ini kali perdana kubicarakan lagi persoalan mama pada Bena setelah beberapa hari ini ia menbanedku dengan segala pertanyaan perihal 'mama'.
"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Bena tenang. Tak lama ia hentikan laju mobilnya di pinggir jalan yang sepi.
"Aku! Emang aku kan yang udah bunuh mama? Aku anak yang nggak tau diri! Bahkan disaat terakhir mama aja aku nggak ada!" kutepuk dadaku dengan keras untuk menghilangkan sakit yang kurasa. Aku memang anak sial tidak berguna!
"Hei hei hei, aku tau semua engga seperti itu, ini semua kehendak Tuhan, dia yang merencanakan segalanya kematian dan kelahiran itu sudah jadi hal tertulis mutlak di setiap goresan tangan nya. Ini semua bukan salah kamu, kamu nggak di samping Anggita bukan berarti kamu yang telah membunuhnya Nastya."
"AKU YANG BUNUH MA—"
Cup.
Hening.
...
Kaget, itulah yang kurasakan.
Rasa ini... sangat familiar. Aku tau rasa ini. Sepersekian detik aku hanya bisa termenung dan baru kusadari kejadian seperti ini kembali terulang, Bena... memberikan kehangatannya lagi padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...