4

101 8 0
                                    

"Sayang...."

Daechan akhirnya membujuk istrinya sendirian sebelum pergi ke kantor. Anak tunggal tak tahu diri itu tak mau membantu. Padahal kan istrinya kesal awal mulanya karena si tunggal.

Sang kepala keluarga masuk ke kamar utama. Kemudian berjalan ke balkon kamar, dimana sang istri tengah berdiri disana. Melipat tangan di depan dada sembari menikmati hembusan angin pagi.

Daechan datang menyusul, lalu langsung memeluk istrinya dari arah belakang.

"Maaf," ucap si kepala keluarga.

"Aku khawatir pada Jungkook," balas Yeonghee mengutarakan keresahannya.

"Aku tau... Aku juga khawatir. Tapi Aku percaya pada anak kita."

"Hampir setiap hari dia pulang dengan wajah babak belur. Bagaimana Aku tidak khawatir?" ungkap Yeonghee.

"Jungkook masih remaja, sayang. Dia masih dalam proses mencari jati diri. Emosinya masih belum terkontrol sempurna. Dan rasa ingin mencoba hal menantang, juga tinggi."

"Tapi apa harus sampai babak belur?"

"Kami, laki-laki, punya yang namanya harga diri. Kami tak mau di cap pengecut. Jungkook sudah bilang kan kalau dia membela diri? Itu karena dia tak mau harga dirinya di injak-injak."

"Kenapa kau tahu sekali?"

"Aku kan laki-laki juga, sayang. Lagi pula, Kau sendiri yang mengatakan kalau Jungkook itu menuruni sifatku. Ya jelas Aku tahu dengan pasti."

Yeonghee mengela nafas pelan. Berusaha percaya dengan apa yang suaminya katakan dan berupaya mengenyahkan rasa khawatir yang tak akan lenyap seutuhnya.

"Biarkan saja Jungkook menikmati masa remajanya. Dewasa nanti kan dia punya tanggung jawab besar. Ada banyak aset keluarga Jeon yang harus dia kelola nantinya."

"Bisa ku pegang kata-katamu?" tanya Yeonghee sambil menoleh singkat pada Daechan.

"Kau bisa," jawab Daechan. Lalu mencium sayang pelipis sang istri.

Begitulah Jeon Daechan membiarkan putra semata wayangnya melewati masa remaja.

Ia tahu bagaimana pentingnya masa remaja untuk anaknya itu. Sebab ketika dewasa nanti, anaknya sudah tak ada waktu lagi untuk bermain-main.

Ada banyak keluarga yang bergantung padanya lewat perusahaan keluarga Jeon. Makanya, Daechan membiarkan anaknya sesuka hati sekarang ini.

Tapi bukan berarti ia lepas tangan mengawasi anaknya. Ia tetap memantau segala sesuatu yang bersangkutan dengan Jungkook. Ntah itu pergaulannya, temannya, maupun sekolahnya.

Mengenai pergaulan, Daechan tahu pasti jika anaknya sering balap liar, keluar masuk club, dan tawuran.

Tapi kembali lagi.

Anaknya sedang dalam masa pencarian jati diri. Ia akan membebaskan anaknya menemukan jati diri. Namum, jika dirasa sudah melampaui batas. Ia akan mengingatkan anaknya mengenai batas wajar pergaulan.

Mengenai pertemanan anaknya. Well, dia kenal tiga teman akrab anaknya. Mereka adalah anak dari kolega bisnisnya. Jadi tak apa. Tak masalah.

Dan mengenai sekolah. Apalagi nilai anaknya. Tentu saja Daechan tau semuanya.

Selaku pemilik sekolah, Daechan tak malu jika mendapati nama anaknya ada pada list paling bawah.

Ia tak menomorsatukan nilai untuk anaknya. Ia sudah cukup bangga akan prestasi putranya di bidang non-akademik. Karena memang tak semua orang mumpuni pada bidang akademik.

TypeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang