Bab 17

55 22 7
                                    

Hari ini, kedua kalinya aku menampakkan diri. Jika ini kali kedua aku kembali menerima surat yang sama, aku mundur.

Kulihat, kutatap, kupandang kamu hanya dari tempatku berpijak. Aku tak seberani-dia yang terang-terangan mengungkapkan rasa suka.

Tapi bolehkah hari ini aku bilang?
Bolehkah kertas perantara ini bertoreh balutan rasaku untukmu?

Aku suka sama kamu, Fia.

Tidak ada catatan khusus untukmu, karena kamu hanya ada di pikiranku.

Ya, inilah aku, seorang yang belum berani menyapa walau sekadar menanya kabar kamu gimana?

Terlalu pengecut?
Haha, iya. Aku takut, dan aku tau aku, pengecut. Aku takut luka itu datang lagi kalau aku seberani dulu. Menyimpannya adalah yang terbaik.

Lalu, aku di sini mau menyampaikan, Shofia, gadis biasa yang tidak cantik. Aku suka sama kamu dari kita kelas satu lalu.

Katanya, Filza juga menyukaimu?
Gimana rasanya disukai oleh Ketua?
Gimana rasanya disukai oleh dua orang?
Apa kamu juga suka-dia?
Atau ... aku ...?

Apalah aku, Fia, hanya orang yang jauh dari kata pemberani.

Maaf, kalau ini akan membebanimu.

Dari pengagummu yang masih di sini

Syafi'i meletakkan pulpen di samping kertas, ia mengangkat goresan pena barusan dan membaca ulang tulisannya. Merasa tak cocok, ia kemudian meremasnya menjadi gumpalan lusuh dan mengantonginya. Pengagum yang ingin identitasnya terahasia pasti tak ingin cepat-cepat bertindak.

Syafi'i masih nyaman pada tempatnya sekarang. Ia lebih suka sendiri meredam sesuatu yang ingin keluar dari hati kecilnya.

Ia tertunduk dan meremas kedua lututnya. Masih SMA, dia masih muda, kita juga perlu kerja. Nggak baik kalau dibuai tapi nggak ada patokan nyata, batinnya. Ia menegakkan punggung dan melempar pandang ke arah luar kelas yang ramai lalu lalang murid beristirahat. Dia orang baik, harus diperlakukan dengan baik pula.

Syafi'i memutar memori menyibak seluruh perjalanannya hidupnya, banyak dari teman-teman seangkatannya yang sudah kuliah, sudah kerja, ada pula yang sudah menikah dan mempunyai anak. Tapi dirinya? Dirinya masih menjadi anak SMA. Anak dewasa yang dipaksa labil.

Ia tak mungkin menjadi cowok pembual yang mengirimi beragam surat untuk mendapatkan perhatian Shofia. Ia juga tak mungkin seberani Filza yang mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan.

Ia hanya mampu jadi dirinya yang bisa membungkam mulut, tapi untuk masalah hati? Hatinya tak bisa bungkam dan ingin berlabuh pada gadis itu.

Dibilang nafsu, Syafi'i kemudian tersenyum kecut, nafsunya sebesar ini ternyata. Dirinya kalah telak dengan perasaannya sendiri. Ini bukan cinta, tapi hanya ketertarikan setelah beratus menit menatapnya, batinnya.

Katanya, mengagumi itu boleh-boleh saja selama menjaga batas wajar. Batas yang dibentang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Yaitu, membiarkan tumbuh rasa suka tanpa tersentuh kemaksiatan. Syafi'i berlindung pada perkataan orang itu. Ia sangat berterimakasih atas perkataan orang itu. Jika tidak, ia pasti tak tahu cara bagaimana menghilangkan perasaan ilusi ini.

Begitulah cerita hidup, jika tak mengagumi, maka ia akan dikagumi. Jika tidak mencintai, ia akan dicintai. Atau mungkin bisa sama rata, mengagumi dan dikagumi, mencintai dan dicintai. Hanya saja, terkadang manusia tak tau dan sibuk dengan satu sisi terburuknya, merasa tak ada yang patut dikagumi dari dirinya.

MadSya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang