Syafi'i menatap langit-langit kamarnya yang sudah dipenuhi sarang laba-laba. Pikirannya tertuju pada kejadian beberapa hari lalu di belakang sekolah. Mengapa memori mengganggu itu datang kembali kepadanya? Mereka ... kepala Shofia dikecup singkat oleh Ketua Osis. Antara mereka ada hubungan apa, selain jabatan ketua dan wakil? Apa mereka ... ah sudahlah! Syafi'i menarik bantal dan meletakkannya di atas perut.
Perasaan aneh merayap dari bawah perutnya hingga berkumpul di dada sebelah kiri, tepat pada bagian hatinya. Perasaan asing yang membuat matanya memanas. Berusaha menyangkalnya, tapi lama-kelamaan rasa itu memenuhi seluk beluk benaknya. Sesak.
Syafi'i takut dibarengi khawatir tentang perasaannya sendiri. Meski terus diam di tempat, tapi perasaan itu terus berjalan ingin sampai pada tujuannya, hati Shofia.
Takut di dahului orang?
Takut hanya perasaan ini akan terabaikan?
Salahkah saya selama ini memikirkan kamu? Ya, itu salah saya, Fia. Sudah tau kita sama-sama tak kenal, tapi kenapa saya mengharapkan orang seperti kamu? Orang yang bahkan tak pernah saya ajak bicara.
Relung jiwanya sedang terbang mencari titik temu dalam arungannya sendiri. Syafi'i mengeratkan pelukan pada bantalnya. Kadang, inilah masa tersulit pengagum rahasia.
Memikirkannya tanpa mereka tau atau tidak dengan kita. Semuanya indah. Tapi semuanya juga tak pernah mudah. Memilih diam dalam keadaan memang titik perasaan yang tenang. Tapi tetap saja, kadang perasaan itu ingin segera diungkapkan. Seringkali yang bungkam adalah yang ingin banyak berbicara banyak hal. Namun, mereka tetap diam dan mengubur segala pembicaraan yang ingin keluar dari mulut.
Syafi'i lebih memilih sepi dan diam, dua komponen yang tidak pernah menghianatinya. Harapan dan rasa suka sejatinya hal yang lumrah terjadi pada remaja. Tapi rasanya kali ini benar-benar ia jatuh pada harapan semu itu.
Jika dulu ia sering mematahkan perasaan orang. Maka hari ini ia berharap karma tak berbalik kepadanya. Masa lalu datang menggalun di benaknya bak simpony merdu. Masa yang membuatnya tak percaya rasa suka, masa yang membuatnya mati rasa, masa yang menaklukkan sisi terang hatinya. Semua berakhir tatkala Anggia memilih sahabatnya.
Sekarang, masa itu datang kembali setelah terkubur 2 tahun lamanya. Gadis berkerudung sekolah berlogo SMA Trisakti 1 itu membuat perasaan yang sudah lama hilang mulai timbul kembali. Gadis yang tidak cantik itu mampu masuk pada celah hitam hatinya. Membuat Syafi'i terus memperhatikannya.
Syafi'i tak menyangkal, tak menyesal saat menjalani seperti sekarang. Hingga mungkin akan tau resiko terberatnya, hanya mampu menatapnya sebagai pengagum rahasia.
Suara notif dari HPnya membuyarkan lamunan syafi'i. Ia meraihnya dan langsung membaca isi pesan yang dikirim oleh nomor tak dikenal.
|| Syafiq, besok jangan lupa bawa beberapa sabuk kamu, biar saling tau berapa sabuk pelatihan yang kita lewati. Dan nomor ini aku simpan ya. Ini Shofia.
Syafi'i meneguk ludah perlahan. Ia menduga pasti kembarannya itu sengaja memberikan nomornya kepada Shofia. Apa sebaiknya jujur aja yah? batinnya. Ia bangun dan menyandarkan punggung di dinding kayu yang mulai mengelupas.
Pesan itu sudah terbaca, mau tak mau Syafi'i harus mengetiknya. Jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard, tapi sepanjang apapun ketikannya, jarinya terus bergeser ke sisi kanan tepat pada tombol penghapus tulisan.
"Sesulit ini ternyata," gumamnya sendiri.
Ia kembali mengetik untuk memberitahukan salah tujuan. Tapi lagi-lagi, tombol kanan penghapus pesan itu terus mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MadSya [Selesai]
Teen Fiction●Bismillah, follow akun Author terlebih dahulu.● -MadSya- Yang diam bukan berarti tak bergerak. Bagaimana jika pengagum rahasiamu berkeliaran di sekitarmu? Si-kaya saja bisa memiliki kisah cinta. Maka si miskin pun juga memiliki hal yang sama. Muham...