Sebulan berlalu dengan cepat, saatnya Syafi'i membawa hasil jerih payahnya ke kota. Apalagi bekalnya sudah habis dari 3 hari lalu, membuat Syafi'i sedikit tertekan kalau terus-terusan membeli makan di sekitar pendulangan emas ini. Harganya 3 kali lipat dari harga normal, sepadan dengan jarak tempuh yang sangat jauh dan melelahkan dari pusat kecamatan Pengaron. Misalnya saja gas elpiji hijau yang dijual seharga 20 ribu, di sini mereka menjual dengan harga 90 ribu. Tinggal di hutan tapi kayak anak sultan.
Syafi'i termasuk orang yang paling muda di antara orang-orang yang bermukim di sini, karena kebanyakan dari mereka sudah 30 tahunan dan memiliki keluarga. Syafi'i mudah mengerti dengan pekerjaann yang dilimpahkan Abah Uni kepadanya, setiap hari ia belajar mengendalikan mesin, ikut memilih emas dan menjual emas-emas itu pada saudagar.
Hasilnya cukup lumayan, dalam satu minggu mereka berempat mendapatkan hasil 2 juta. Hasil itu dibagi sama rata agar tak memunculkan perselisihan antara mereka berempat. Sebagian bagi Syafi'i, 2 bagian untuk dua orang lainnya dan 2 bagian Abah Uni karena menyediakan mesin pemompa air.
Selain kelompok Abah Uni, kelompok lain pun banyak tersebar di hutan ini. Hutan dengan nuansa sungai dangkal yang keruh menjadi pemandangan sehari-harinya. Tumpuk-tumpukan tanah menggunung dengan lubang dalam di sampingnya sudah menjadi kesehariannya berpetualang di bawah sana. Baju kotor, kulit menyeruput karena kedinginan sudah menjadi teman sehari-harinya.
Di sini, Syafi'i mulai berbicara normal layaknya manusia, Awokwokwok.
Sering mereka berempat bercengkrama tentang apa saja yang terlintas, baik menggoda Syafi'i dengan penjaga warung yang berpenampilan nyetrik, menjodoh-jodohkan Syafi'i dengan beberapa perempuan lainnya yang sudah janda. Menjadi yang paling muda di antara mereka membuat Syafi'i malu akan statusnya yang masih lajang.
Kerap kali kalau Syafi'i menanyakan Shofia pada Syafiq, Abah Uni langsung melempar pembicaraan itu pada teman-temannya yang lain, membuat Syafi'i bersemu malu digoda seperti ini. Berteman dengan orang dewasa itu membuat pipi terus bergembung.
"Dia apa kabar?"
"Dia siapa?"
"Shofia."
Abah Uni yang tadinya berdiri memperhatikan Syafi'i langsung duduk di tikar menghadap Abah Runi dan Adul. "Shofia ternyata nama kekasih anak kita yang satu ini."
3 orang dewasa itu tertawa berjamaah tak menghiraukan Syafi'i yang menatap kesal pada mereka. Andai speaker HP Abah Uni tak rusak, pasti pembicaraan mereka tak didengar oleh orang lain.
"Ah, padahal kita udah jodohkan sama Acil Ijum."
"Nasib Acil Ijum, jandanya masih tersegel rapat."
"Baik kok, kapan lo pulang? Ibu udah kangen berat. Shofia aja lu tanyain, ibu sama gue, enggak, dasar."
"Ee, nggak gitu." Syafi'i menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Ibu gimana kabarnya?"
"Yang namanya orang kasmaran mana ingat keluarga," kelakar Abah Runi. Mereka kembali tertawa dengan ditemani beberapa cangkir kopi hitam.
"Ayo Nang, ngopi dulu."
"Baik. Cepat pulang ya, lo Syafi'i bukan Bang Toyib yang tak pulang-pulang."
"Iya-iya, doakan gue di sini."
Setelah salam terucap, Syafi'i turun dari pohon dan mengembalikan HP Abah Uni. "Makasih Bah, 20 ribu." Maklum, sinyal di hutan kadang ada kadang tidak ada seperti doi Anda.
KAMU SEDANG MEMBACA
MadSya [Selesai]
Teen Fiction●Bismillah, follow akun Author terlebih dahulu.● -MadSya- Yang diam bukan berarti tak bergerak. Bagaimana jika pengagum rahasiamu berkeliaran di sekitarmu? Si-kaya saja bisa memiliki kisah cinta. Maka si miskin pun juga memiliki hal yang sama. Muham...