Beberapa menit sebelum bel kelas pertama berbunyi, Syafiq nekat mendatangi SMA Trisakti 1 dengan seragam SMA Bakti Bangsa yang masih melekat di tubuhnya. Seluruh pandangan kaum hawa tertuju kepada Syafiq yang melangkah santai di koridor SMA tetangganya itu. Ia juga mengenakan jaket kebanggaan BlackDark, sehingga dari kubu yang sama melambai tanda selamat datang.
"Anak tetangga-anak tetangga!"
"Anak BD woy!"
"Anak BB mah."
"Anak bapak ibunya kali!"
Syafiq tersenyum ramah tapi tak memikirkan efek dari senyuman mautnya itu. Hingga beberapa siswi memekik histeris dengan sabit kedua yang pernah ada di muka bumi ini, sangat tipis nan manis.
Ia mendatangi kelas Syafi'i dan menyeret paksa empunya yang sedang asik bermain HP. Tak ada bantahan yang lolos dari mulut Syafi'i meski merasa sedikit keberatan.
"Kelas Shofia di mana?"
"2 IPA."
Syafiq mengedarkan pandangan dan menatap jalan beratap menghubungkan kelas IPA dan kelas IPS. "Seberang sana?"
Syafi'i mengangguk tapi masih bergeming dengan HPnya. Meski dipaksa berjalan lagi, Syafi'i tetap menatap HPnya dan tak peduli dengan suasana sekitar.
Orang-orang yang dilewati Syafiq dan Syafi'i mulai memasangkan wajah keduanya yang hampir mirip. Syafiq sedikit gemuk dengan pipi agak menyembul, sedangkan Syafi'i terlihat kurus kering hingga wajahnya menampakkan dua tulang dagu yang disebut rahang.
Meski begitu, banyak pertanyaan-pertanyaan tentang mereka berdua yang tak ada jawabnya. Baik Syafiq maupun Syafi'i tak mendengarnya. Mereka sama-sama menyumpal telinga dengan earphone. Meski kadang pekikan itu terdengar, mreka berdua tetap berjalan menuju kelas Shofia yang berada dekat tangga melewati anak IPA yang berada di luar kelas.
"Eh, kalau dia kembarannya, pasti senyumannya sama 'kan?"
"Berarti? Ada tiga sabit di dunia ini?"
"Ah, entahlah. Kita nggak pernah melihat budak HP itu tersenyum. Bahkan suaranya saja sangat mahal apalagi senyumannya."
"Ah, tapi tenang. Dia orang miskin. Anak beasiswa."
"Apa yang bisa dibanggain? Miskin, budak HP, kaku, anak beasiswa dan nggak ada yang berteman sama dia."
"Kalau dia miskin? Otomatis, pria di sebelahnya itu miskin juga dong?"
"Lumayan ganteng sih."
"SMA sebelah emang gantengnya kelewatan. Anak sini mana ada yang ganteng? Kucel gue liatnya tiap hari itu-itu mulu."
"B aja gue mah. Belum tau aja aslinya gimana ya 'kan?"
Shofia dan Maria berjalan bersisihan sembari bercerita-cerita merangkai kisah yang akan mereka lakukan di hari pentas nanti. Mereka bercerita seputar musik, pentas seni dan beberapa hiburan lain yang akan memeriahkan hari itu.
Jika ditotal, tak cukup satu hari untuk melaksanakan itu semua. Sampai-sampai pihak sekolah memberikan kepanjangan waktu untuk acara tersebut.
Acara kedua yang akan terlaksana semua. Mengingat penyebaran Covid-19 yang masih merajalela, seluruh akses tempat wisata di Kota Banjarbaru diputuskan untuk tutup dulu beberapa saat, seperti Danau Seran, QMall, WaterPark dan lainnya. Membuat harapan jalan-jalan mereka pupus sudah tinggal wacana belaka.
Shofia mengerutkan kening. "Bahas apa sih?"
Maria memelankan suaranya dan berhenti sejenak. "Bahas apa sih?" tanyanya sok akrab dengan beberapa perempuan tengah bergosip ria.
KAMU SEDANG MEMBACA
MadSya [Selesai]
Fiksi Remaja●Bismillah, follow akun Author terlebih dahulu.● -MadSya- Yang diam bukan berarti tak bergerak. Bagaimana jika pengagum rahasiamu berkeliaran di sekitarmu? Si-kaya saja bisa memiliki kisah cinta. Maka si miskin pun juga memiliki hal yang sama. Muham...