Epilog

70 16 9
                                    

-Epilog MadSya-

Kelak kau akan mengerti bahwa, menahan untuk menjaga orang lain agar tak tersinggung karena lisanmu itu, lebih mulia daripada mengutarakan isi hatimu.

(Sayyidina Ali bin Abi Thalib ~@kutipanrinduu_)

-Epilog MadSya-

Setelah mengutarakan niat bekerja pada Saniyah. Kini ia duduk di Halte Bus Sekolah menunggu angkutan antarkota yang akan membawanya pergi dari tanah ini. Tas besar tersampir di punggung berisi pakaian dan alat-alat lain yang dibutuhkan saat bekerja nanti.

Syafi'i membersihkan halaman depan yang dipenuhi dedaunan basah. Setelah salat asar, kebiasaannya dulu membuntuti Shofia 'kan? Nah sekarang ia tak lagi mengerjakan hal itu, dan juga HPnya sama sekali tak bisa digunakan karena dikontrol orang lain dari jauh. Alhasil, Syafi'i lebih rajin membantu ibunya baik di rumah atau berjualan di pasar. Adapun Syafiq sibuk belajar-belajar dan belajar, katanya banyak nilai yang di bawah rata-rata mengakibatkan Syafiq ikut beberapa kali pengulangan ujian sekolah.

"Pina rajin Anang, kada sekolah lagi 'kan luluskah?" (Tumben rajin, nggak sekolah lagi? Sudah lulus 'kah?) Pria hampir kepala 4 menegurnya dari pelatar rumah pria tersebut. Orang kampung sering menyebutnya Abah Uni, karena anak pertama beliau bernama Unifah Aima.

Mendengar hal itu, Syafi'i menghentikan acara menyapunya dan hanya menjawab dengan senyuman. Sebenarnya ia bingung mau menjawab apa, dan sedikit malu karena ia dikeluarkan dari sekolah bukan lulus dari sekolah.

"Begawi apa wahini?" (Kerja apa sekarang?)

"Ya kayak gini aja, Bah."

"Handakkah? Aku kurang personil nah, kolo ai ikam mau jadi penggangsar amas di Batu Bulan." (Kamu mau kerjaan? Kebetulan aku kekurangan tenaga kerja, kalau kamu mau sih. Kerjanya mencari emas di Batu Bulan)

Sejenak Syafi'i berpikir tentang pekerjaan itu. Abah Uni pun terbilang orang tua yang sukses karena sering mencari emas di negeri orang, rumah ada dan berkecukupan. Ah sepertinya ia tergiur untuk ikut dalam anggota Abah Uni Lovers, eh-eh.

"Hadangi ibu ai dulu, Bah ai. Ulun kada tahu lagi. Mun handak, handak ai." (Menunggu izin ibu dulu, Bah. Saya belum tahu. Saya juga ingin kerjaan itu)

"Kakaini pang kita yokolo Nang, mun urang randah ni ke tanah ai lagi bacari. Lain yang sarjana, bisa kantoran bagawinya." (Ya seperti ini lah kita ya Nak, kalau orang susah mencari rezeki di tanah. Bukan seperti yang sarjana, bisa kerja di kantor)

Syafi'i mengangguk. "Insya Allah, ada datang untuk bilang keputusannya, Bah."

Abah Uni pun masuk ke rumahnya dan Syafi'i menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Mencari emas bukan perkara sulit bagi laki-laki. Tapi yang sulit adalah---berjuang di negeri orang sendirian, jauh dari keluarga, di hutan, tinggal di tenda, setiap hari menyentuh tanah, air dan tak jarang badan akan kedinginan. Tapi di balik itu semua ada emas yang akan dibawa pulang demi mencukupi rumah tangga.

Saniyah awalnya tak menyetujui bahkan memarahi Syafi'i dengan nada sangat rendah, takut disangka macam-macam jika teriak 'kan? Apalagi Abah Uni tetangga dekatnya. Tapi setelah mengutarakan surat dikeluarkan dari sekolah secara sepihak, Saniyah langsung merengkuh Syafi'i ke dalam pelukannya.

MadSya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang