"Shof, antar karpet ini ke gudang di lantai dua."
"Kok gudang ada di lantai dua? Bukannya biasanya di belakang sekolah?"
"Lha saya nggak tau, saya 'kan bukan ikan."
"Kerjaannya Bapak Mekail palingan. Emang si anak sama bapak sama aja, sama-sama membagongkan," timpal Maria yang tak jauh duduk dari posisi panitia berdiri berhadap-hadapan.
"Yuk Mar, bantuin ke atas." Shofia mengangkat 2 karpet sekaligus karena ukurannya terbilang kecil dan ringan.
"Oh tidak bisa sayang, aku udah dijemput."
"Yah ... yaudah deh." Shofia mengedarkan pandangan mencari sosok yang bisa membantunya. "Van! Bisa temenin aku ke atas?" tanya Shofia pada Vania yang berada di ambang pintu bersama Dirga.
"Nggak bisa Shof, kita juga lagi sibuk."
"Sibuk PDKT!" imbuh Maria sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Oke guys, aku pulang dulu, makasih makanannya, senang bisa makan dengan panitia meski aku bukan ikut capek-capek kayak kalian, ehe. Rezeki Maria."
Vania memutar dua bola matanya malas. "Dasar. Kita tuh sibuk bicarain pengangkutan alat-alat musik. Nggak kayak kamu kalau ketemu Ridwan suka sok jual mahal tapi pengen."
"Iri bilang sahabat," deklarasi Maria. Emang kalau punya kenalan yang sok akrab dan sok dekat sukanya kalau ngomong sok julid.
"Hati-hati Mar. Aku ikut sekalian ngantar ini deh." Shofia berjalan ke samping Maria
"Nggak nungguin Filza dulu Shof? Kan bisa sama dia ke atas," usul Dirga. Vania ikut mengangguk menyetujui.
Shofia nyengir. "Enggak, emangnya aku penakut?" Shofia melirik Maria yang sudah siap untuk berangkat. "Yuk Mar." Ia juga mengambil tas yang berisi sisa nasi bungkus miliknya.
"Hati-hati, di atas ada penunggunya. Hiiiiiiii."
"Apaan sih Van, bikin takut aja," komentar Maria.
"Yaudah, ayok Mar."
Mereka berdua keluar dari kelas IPA bersamaan hingga tiba di koridor penghubung lantai 1 dan lantai 2, Shofia berpamitan pada Maria.
"Hati-hati ya Mar."
"Selalu aku jaga hati mah. Seileh."
"Bucin mulu kamu ih dari tadi. Dadah."
"Asal jangan overdosis. Nggak papa nggak cantik, yang penting good loking."
"Nyindir saya ternyata," komentar Shofia bercanda. Ia sudah berada di tangga kelima.
"Yaudah, dadah Shof."
Setelahnya Shofia menaiki undukan anak tangga. Jika di bawah sangat riuh, maka di sini berbanding terbalik. Sangat sepi dan terkesan horor bagi Shofia.
Suara langkah bergema dalam keheningan bangunan. Dua netranya ia fokuskan melihat ke lapangan basket untuk menghindari aura lain dari sudut kelas yang sepi. Dengan sengaja, angin berhembus pelan menggelitik kulit Shofia hingga membuat belakang lehernya terasa panas dingin. Sesekali ia melihat ke belakang untuk memastikan tak ada yang mengikutinya. Kalau itu sesama manusia sih tak apa-apa.
"Emang horor kalau jalan ke gudang mah. Harusnya gudang di belakang kali, ini malah di lantai dua," gerutu Shofia.
Samar-samar ia mendengar suara yang entah dari mana. Ia memelankan langkah dan memberanikan diri menoleh ke kelas kosong yang terbuka. Tidak ada orang.
Ia bernapas lega. Gerakan cepat, ia meninggalkan ruangan terbuka itu dan menaruh karpet di dalam gudang di ujung bangunan.
Suasananya masih sama, sama-sama hening dan sepi. Shofia memandang sebentar tangga di ujung sana. Kok jaraknya kayak panjang amat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MadSya [Selesai]
Teen Fiction●Bismillah, follow akun Author terlebih dahulu.● -MadSya- Yang diam bukan berarti tak bergerak. Bagaimana jika pengagum rahasiamu berkeliaran di sekitarmu? Si-kaya saja bisa memiliki kisah cinta. Maka si miskin pun juga memiliki hal yang sama. Muham...