•MAAF, NIAN•

2 1 0
                                    

"Tapi kenapa kamu ikutan duduk disini? Dalam gelap banyak nyamuk lho." Agasa kembali ke mode normalnya

"Nyamuknya mana berani gigit aku. Kan ada kamu yang ngelindungi hehe..." Gombal Agera santai

"Terserahlah. Terus, apa harapan kamu di umur yang ke tujuh belas ini?" Tanya Agasa lagi sambil menatap langit malam

"Hmm apa ya... Aku gak punya keinginan khusus sih. Karna aku udah nyaman sama kehidupan aku yang sekarang. Jadi, mungkin aku bakal minta sama tuhan untuk gak merubah hidupku. Aku pengen tetep kayak gini." Agera tersenyum merekah

Tapi entah kenapa Agasa justru menampilkan raut sedih.

"Umur kamu sekarang berapa sih Gas? Delapan belas ya? Atau sembilan belas?"

Agasa berdiri, "Itu gak penting."

Agera ikut berdiri, "Jadi yang penting apa?"

"Yang terpenting itu, apa yang orang itu lakukan semasa hidup."

"Hahaha ngomongnya kayak orangtua aja!" Agera tertawa geli

Namun Agasa hanya memandanginya saja.

"Ayo balik. Aku anterin kamu."

Hening sekali. Baik suasana komplek maupun mereka. Sedari tadi tak ada yang membuka mulut.

Langkah Agasa semakin cepat, hingga membuat Agera kewalahan mengikutinya. Sampai Agera menarik ujung kaos polos Agasa.

"Jangan jauh-jauh!" Ucap gadis itu kelelahan

Entah apa tafsiran di kepala Agasa mengenai kalimat Agera, yang jelas sekarang matanya berkaca-kaca.

Lalu Agasa tersenyum tulus, "Memangnya kamu kira aku tega ninggalin kamu dalam gelap malam kayak gini?"

"Sini!" Agasa mengulurkan tangan kanannya. Sepertinya ia meminta Agera menggandeng tangannya. Tanpa lama-lama Agera langsung menerima

Kini mereka berdua berjalan sambil bergandeng tangan. Namun tetap diberi jarak. Lebih tepatnya Agera seperti dituntun jalannya.

"Udah sampe."

"Makasih ya!" Ucap Agera dihiasi senyum simpul

"Eh tapi aku belum ngasih kado..."

"Udah kok." Salib Agera

"Hah?"

"Bye!! Selamat malam!!" Agera menutup gerbang lalu berlari masuk ke kamarnya

Kembali Agasa menoleh ke langit. "Keliatannya malam ini lebih gelap dari biasanya."

•••

"Pokoknya Sintya gak mau tau ya Pi, Papi harus pecat ayah nya Jean sekarang!"

Di dalam ruangan kerja Pak Santo, ia direngeki oleh anak gadis perempuannya yang tak lain Sintya.

"Tapi Papi gak bisa seenaknya gitu tanpa alesan khusus sayang!" Tolak Pak Santo kesekian kalinya

"Lho? Kan Sintya udah bilang ke Papi, Jean mutusin Sintya Pi!!!"

"Udah cukup Sintya! Papi gak bisa ngorbanin pekerja cemerlang karna alesan kekanakan kayak gini! Sekarang kamu balik ke kamar kamu sana!" Ucap Pak Santo tegas

Yahh... Semenyebalkan apapun Sintya, ia tetap seorang anak perempuan. Ia menangis keluar dari ruangan kerja Papinya.

"It's okey! Kalo cara buat ngehancurin Jean gagal, gue masih bisa ngehancurin si benalu nya!" Sintya tersenyum licik

•••

Sementara itu, kabar Sintya dan Jean putus sudah menyebar ke seluruh sekolah. Ini tentunya berdampak buruk untuk kepopuleran Sintya sebagai gadis yang dianggap sempurna oleh para murid.

DIANTARA  DIMENSI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang