36. Bodoh

204 46 3
                                    


***

Vio tergesa, langkah lebar dengan raut khawatir terpancar saat masuk di pintu utama hotel. Bagian ruangan sepi sudah menjadi hal utama mengingat jam yang sudah mencapai pukul 2 pagi.

Gadis itu melihat Claire, Gadis itu berlari kecil ke arahnya dari sofa ruang pertemuan. Kini penampakan wajah itu membuat firasat Vio tak enak.

"Luna-" Vio mengatur nafas, "Gimana sama dia?"

"Dia tadi lari lewat pintu belakang hotel Vi. Ada yang gak beres."

Tak ingin membuang waktu, Vio menarik Claire menuju Lift ke lantai 2. Tombol itu ditekan berulang kali dengan lilitan jari tak karuan.

"Kita gak punya akses kekamarnya." Seolah tau situasi saat ini, dan akan kemana mereka mencari. Vio menatap Claire lekat menunggu jawaban.

"Luna gak punya kartu salinan." Helaan keras. Jujur, keadaan seperti sekarang makin membuat suasana makin tak nyaman.

"Tapi ... gue tau sandi darurat miliknya. Kita bisa gunain itu." Kini Vio berbalik melihat Gadis dengan rambut tergerai di hadapannya. Dia sedikit lega, ternyata biginilah gunanya bersahabat.

Tapi, Vio heran saat beberapa hari belakangan, dua Gadis itu sudah jarang bersama. Atau malahan, sudah tidak pernah.

Mereka sampai, kini degup jantung Vio makin keras. Menunggu Claire yang berusaha menekan tombol dan memasukan enam digit angka. Bunyi terdengar, mereka saling tatap saat pintu sudah dapat di buka.

Seolah menunggu persetujuan, Vio mengangguk. Perlahan dua Gadis itu membuka knop pintu.

Brak.

Bunyi benda jatuh. Mereka berhenti dahulu. Vio yang tak kuat makin memperlebar pintu hingga melihat noda merah di baliknya.

"Ssh." Sayup, bunyi itu terdengar.

Claire terkejut, langkahnya mundur perlahan saat dia sudah hampir menginjak benda itu. Melihat itu Vio kalap lantas menyusul. Namun bukan itu ... kini cairan kental itu makin merembes dengan darah yang terus keluar. Claire bergetar tak menunjukan reaksi. Sedangkan Vio, Gadis itu segera berlari hingga duduk di keramik.

"Lun-"

"Luna!?" Vio menekan perut Luna yang terbuka. Menariknya hingga terbaring pada pahanya. "Luna! Jawab gue!"

"L-luna." Mata Vio berkaca, bibirnya sedikit bergetar saat Gadis berambut pendek itu tak menunjukan reaksi dengan matanya yang terpejam.

"I-itu-Bukan Luna!" Claire tak berani mendekat, dirinya masih tak sepenuhnya menerima.

"Jangan diam aja sialan! Telpon Pak Hendrik! Telpon siapa aja Claire!"

"Jawab Lun. Gue tau lo kuat. Bangun." Bunyi benda jatuh terdengar, suara itu karena ulah Claire yang mengobrak lemari dan laci meja untuk mencari ponsel. Bergetar, kini Gadis itu mendekat dengan dua buah baju.

"T-tekan lukanya! Gue coba panggil siapa aja."

Claire hendak keluar setelah berhasil menelepon Kin untuk memanggil beberapa guru. Namun hal yang membuatnya tertahan saat jari tak bertenaga menariknya. Claire berbalik dengan mata berkaca.

"C-la-ire." Vio terkejut, melihat nafas putus yang keluar dari mulut itu. Bercak darah bahkan masih terlihat di sana. Mata lentik milik Luna menunjukan pergerakan. "Lu-n? lo gak papakan? Tahan bentar, mereka datang bentar lagi." Claire memaksa tersenyum, kini dia menggenggam tangan Luna kuat.

Luna berbatuk. Hal yang mengejutkan adalah, saat cairan merah keluar dari sana.

"Vi-"

"Iya! ini gue." Vio sudah menangis, melihat darah yang sudah menembus baju dari Claire tadi, bahkan sudah memenuhi kedua tangannya. Apa Luna tidak akan kuat?

HELLION: LinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang