19. Sepuluh besar

256 49 0
                                    


***

Setelah pengumuman berlangsung murid makin banyak berkumpul di bagian lapangan. Makin heran saat garis pemisah kini di pasang sebagai penghalang, suara guru yang memberi aba-aba agar segera berkumpul, belum lagi beberapa pengawas yang tergesa mengatur tempat.

Hingga beginilah jadinya, 30 murid dari Super dan Special x class di buat berpisah dengan hadapan yang berbeda dari lainnya, mereka di hadapkan ke arah tiang bendera dengan merah putih yang berkibar di atas sana.

40 murid lainnya yang terpilih dari kelas masing-masing sebagai peringkat lima besar berada di bagian kiri, sedangkan bagian kanan di isi oleh murid lain yang tersisa.

Langkah kepala sekolah terdengar menaiki podium yang biasa di gunakan petugas upacara, dengan beberapa petugas yang memang menjadi kepercayaannya kini menggiring untuk menaiki tangga. Kemudia petugas berseragam itu kembali kebawah dengan berdiri tegap.

Ucapan pembuka kini menjadi hal paling memalaskan terutama saat terik matahari yang menyengat, peluh membanjiri dahi Vio yang tetap berdiri tegang, ketakutan dia rasakan terus-menerus. Terutama jika nanti topik awal akan di bahas.

"Ujian yang kita laksanakan selesai pada satu hari kemarin tanpa hambatan," Lelaki paruh baya itu tersenyum bangga. "Itu karena partisipasi dan juga persiapan diri kalian yang hampir matang."

Hampir? Ck.

Dia menghela sesaat, lalu tersenyum simpul.

"Bagi kalian yang juga sudah berusaha untuk memberikan jawaban terbaik, dan tidak membuat keributan saat jadwal berlangsung, bapak ucapkan terimakasih ..."

"Dan selamat untuk kalian yang berusaha dan dapat mencapai nilai 10 besar. Nilai kalian sangat membanggakan." Senyumannya semakin lebar, tapi Vio takut melihatnya. "Beri tepuk tangan bagi mereka, dan diri kalian sendiri."

Bunyi tepukan kini memenuhi isi lapangan, Sebagian melontar senyum dengan sunggingan selamat. Walau sebagian yang mengisi 10 besar adalah murid Super dan Special class. Murid juga sudah tau, kepintaran penghuni hotel itu memang tidak bisa mereka saingi, otak mereka tidak main-main.

Terutama jika itu dengan seorang Claire Zaneta.

"Baiklah, untuk murid yang berhasil memasuki 10 besar bisa memisahkan diri dahulu," Kepalanya berputar 180 derajat ke arah tiang bendera, "Sekarang!"

Tidak menunggu lama, instruksi yang berada tepat di bawah podium adalah tempat terakhir nilai tertinggi.

Posisi terpisah dengan mereka yang menatap langsung di atas, kini mereka berada di barisan terdepan.

Vio melirik sebentar, urutan pertama kini adalah dirinya, di susul Jane dan ... Daniel?

Murid itu pintar juga ternyata. Sampai sini Vio masih melihat beberapa murid dari kelas 3 dan 4, matanya kembali menangkap Luna yang berada di posisi tujuh dan Darel yang berada di delapan.

Sedangkan Claire dan kin berada di posisi sembilan dan sepuluh.

Pernyataan bimbangnya semakin menjadi, saat Claire dan Kin memang sengaja berada di posisi itu, padahal dia ingin mengelak kalau semua ungkapan Kin waktu itu tidak benar, tapi yang di hadapannya kini berkata iya.

Vio masih tidak bisa memilih antara pikiran dan hatinya.

"Ini adalah murid kebanggan bapak tahun ini, karena apa? mereka berhasil menjawab soal jebakan yang tidak semuanya bisa melakukannya. Itu adalah hasil yang sangat baik, sangat-sangat baik."

Padahal itu adalah yang terburuk, Wakil kepala sekolah ini sangat pandai membual, Vio bahkan mengepal tangan mendengarnya.

Dia berkata jika itu memang sangat sempurna, sebuah murid yang nanti di istimewakan. Apa dia tidak tau bagaimana kondisi murid lain yang juga ingin di beri pujian, mereka mungkin akan menangis dalam hati atas nilai yang tak dapat membuat kepala sekolah bangga.

Sekolah ini memang begitu. Murid tak di beri hal yang sama, hampir semua di bedakan!

"Bapak langsung saja ya, kita sudah banyak membuang waktu-"

"Untuk 10 besar, sistem yang di atur akan membaginya menjadi 2 kelompok, dan pasti terdiri dari 5 orang dalam satu kelompok." Murid yang berada di depan itu mencerna dan mengangguk.

"Murid yang sudah melakukan pengujian, dan juga mendapat peringkat di kelasnya akan di bagi menjadi 4 kelompok." Lanjutnya.

"40 murid berarti akan di bagi menjadi 10 orang per kelompok. Dan sisanya juga seperti itu." Semua mengangguk paham, mendengar kepala sekolah yang berucap tanpa hambatan,  wakil kepala sekolah itu merubah raut serius lalu menghela sebelum mengucap.

"Sama seperti kemarin, kini kita akan melaksanakan poin kedua," Lembaran kini di buka bersamaan dengan kacamata anti radiasi yang di sodorkan oleh satu pengawas yang maju.

"Pembagian kelompok di setiap kelas. dan di lakukan secara acak, bapak sudah membagi hingga kelompok bisa kalian mengerti. Dan tinggal menunggu nama-nama kalian yang di sematkan. Dan setiap kelompok nanti akan di beri sebuah misi, suka atau tidak suka, kalian di paksa melakukannya."

Vio semakin mengepal dengan keringat dingin. Bahkan murid sebagian menunggu kalimat selanjutnya bimbang.

"Kita mulai dari kelas di ujung kanan." Dia memberi sunggingan tipis. Lalu menyapu pandang, "Dan murid di depan akan menyusul."

***

"Menurut lo kenapa kepala sekolah nyuruh kita ngumpul di sini?" Luna bergerak gelisah, dari sekian banyak tempat di HELLION, wakil kepala sekolah justru menyuruh mereka menunggu di gudang sekolah yang jauh dari jangkauan murid.

Dia tak berhenti menepuk roknya yang sama sekali tak kotor, orang yang di tanyai justru memilih diam dengan memangku kaki di sofa yang sudah sedikit rusak.

Dia mendelik tak suka, tatapan yang tadinya menunggu Claire menjawab kini berpaling pada Kin yang duduk di atas meja sambil membuka ponsel.

Mereka semua yang ada di ruangan memilih bisu. Dan dengan Luna yang terus mengeluarkan sumpah serapah.

Jane yang berada di pintu berbalik dengan decakan keras ke arah Luna yang masih berdiri sambil berbicara sendiri. "Berisik! lo bisa diam gak sih?" Ucapnya tak suka.

Luna bahkan tak menggubris, Gadis itu kembali memperbaiki rambutnya yang tersapu angin.

"Claire, kita keluar sekarang yuk." Kini Luna merengek. Kin, Claire, Jane dan dua murid dari kelas 4 yang bernama Sarah dan Gladis, kini mengalih atensi menatap Luna yang seperti anak kecil.

"Kenapa kepala sekolah nyuruh kita kesini?" Pertanyaan yang sama terlontar dari mulut Kin yang sudah mulai bosan.

"Karena pembagian misi." Jawab Jane seadanya. Claire menatapnya sinis kemudian.

"Apa? jawaban gue salah?" Jane tak suka, apalagi tatapan Claire yang membuatnya geram. Gadis itu menggeleng pelan.

"Sebenarnya bukan itu sih," Balasnya pada Jane dengan ucapan di buat lembut, sebagian menatapnya tertarik.

"Apa menurut kalian sekolah nyembunyiin sesuatu?" Claire mengubah posisi dengan badan yang di majukan sedikit.

Mereka saling lempar tatap, berbeda dengan Kin yang justru memilih abai.

"Nyembunyiin?" Gladis bersuara.

Claire mengedik bahu, "Sekolah bisa aja buat sistem kayak gini cuma buat nyembunyiin waktunya, atau ... untuk bersenang-senang."

Jane menggeleng lalu berucap, "Maksud lo ngomong gitu apa?"

Claire tersenyum menatapnya, "Wakil kepala sekolah itu-" Gadis itu mengetuk bagian kiri kepalanya, "-Sangat licik."

"Atau, mereka semua udah tau siapa pelaku sebenarnya." Pembicaraan ini belum masuk di inti, Karena itulah Jane masih sulit memahami.

Luna meliriknya dengan tarikan bibir, "Semua guru udah punya maksudnya sendiri. Apalagi waktu pengumpulan di aula bapak juga ngomong-"

Jane mengerut saat Luna berbalik menghadapnya dengan mata yang terkunci padanya. "Pelakunya ada disini."

Jane terpatung mendengarnya.

***

HELLION: LinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang