Wasiat Mama Papa

10.3K 704 22
                                    

Hai, terimakasih sudah membaca dan jangan lupa vote ya.

💧💧💧

Track List Oceané :
Dewa19 - Pupus

Aku turun dari mobil Ranger Rover berwarna hitam milik kak Raga. Sebelum turun, aku memberikan senyum terbaik ku kepadanya, karena telah membantu ku seharian ini, juga telah menghibur ku.

"Yakin sendiri?"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari laki-laki itu. Hari sudah mulai gelap, dan aku sudah berkali-kali mengatakan dari tadi, bahwa aku hanya ingin sendiri. Bagiku, menikmati luka secara diam-diam di kesunyian itu, akan lebih baik.

Idk apakah ini termasuk kedalam mentah health atau tidak. Menurut mu?

Bagiku, aku sudah terbiasa merasakan luka di tubuh dan fisik, hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Sudah menjadi makanan pembuka dan penutup di kehidupan ku. Dan yap, rumah sunyi yang kecil ini lah, menjadi saksi bagaimana suka duka kesakitanku selama ini.

"Gapapa? Yakin?" Pertanyaan itu muncul untuk keseribu kalinya dari mulut kak Raga.

Dan lagi, aku menjawabnya dengan senyuman, "Gapapa kak, tenang."

"Ya udah take care, gue kesini besok."

Aku mengangguk dan keluar dari mobil. Sebelum masuk kedalam rumah, aku melihat lagi kepergian kak Raga hingga benar-benar menghilang dari pandangan ku. Lalu, barulah aku memasuki rumah yang selalu terlihat sepi ini.

Hal ini, mampu menguasai emosional ku dengan kacau. Dada ku kembali sesak dan sakit mengingat kenyataan yang selalu menghampiri ku setiap saat. Bahkan, di hari terakhir mama, aku tidak sempat melihatnya. Bahkan, di hari terakhir mama, bang Guntur sama sekali tidak datang.

Adil kah dunia ini untuk ku? Mama memang tidak pernah mencurahkan kasih sayangnya secara langsung, tapi bagaimana bisa aku menjalani hari seorang diri? Terbiasa sendiri bukan berarti aku mampu hidup dalam benar-benar 'sendiri'.

Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menangis berpelukan bantal. Fucking shit dengn orang-orang diluar sana. Kenyataannya, aku kembali sendirian. Bukan aku tidak menerima mereka, hanya saja aku adalah aku. Hidup ku tetaplah menjadi hidupku. Empati dan simpati mereka hanya bonus. Namun air mataku, sakit di hati, tetap lah aku yang merasakan.

Aku berjalan dengn gontai menuju kamar. Ku buka laci meja belajar, dan terlihatlah disana ada sebuah jam tangan pemberian kak Raga dulu, dan juga sebuah foto usang yang sudah berganti warna menjadi coklat.

Foto itu sedikit berdebu, namun tidak membuat tua orang-orang didalamnya. Bibirku sedikit terangkat membentuk bulan sabit, kala melihat senyuman orang didalam foto tersebut.

"Hai pa, surga indah ngga? Mama kesana, nyusul Papa. Jaga mama ya pa." lirih ku dengan pelan mengusap wajah dari seorang laki-laki yang menggendong bayi perempuan.

Lalu, tangan ku beralih mengusap wajah perempuan yang cantik, dengan rambut sepunggung, "Mama disana baik-baik ya, Cia gapapa disini, Cia aman. Cia ikhlas mama pergi, asal mama bahagia disana okey?"

Kemudian, aku memandang wajah anak laki-laki berumur 5 tahun yang berdiri di sebelah Mama, wajahnya ceria dan memperlihatkan giginya yang ompong, "Lo kemana bang? Mama udah ga ada, dan lo ga pulang. Nomor lo aja gue tau, gimana bisa gue ngehubungi lo?"

Oceané [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang