Perpisahan Ketiga: Agustus 2019

11.2K 551 11
                                    

"Readers guides"

Soooo there are many people asking me how to read "Summit Attack" like it is some kind of riddle 😂 which is of course NOT. In fact, it was quite simple guys.

All you need to do is pretend that the number in the chapter's title doesn't exist AT ALL.

Then you can continue to read it like any regular stories, following the order of chapters just like how it is arranged.

Thanks 🤣

💕
.
.
.

Jambi, Agustus 2019

Ran turun dari bus Family Raya yang membawanya dari terminal Poris di Tangerang menuju Kabupaten Bangko, Jambi. Di depan sebuah ruko-ruko pinggir jalan yang kelihatan masih baru busnya menurunkan penumpang yang tumpah ruah bersama segunung bawaan mereka. Ini musim liburan kuliah semester genap, Ran datang jauh-jauh ke mari setelah memohon pada sahabat yang dulu seindekos sekaligus sejurusan dengannya di kampus, Shiwa.

Ran menggendong satu-satunya tas yang ia bawa dalam perjalanan ini. Ia segera menelepon sahabatnya, mengabari bahwa ia sudah sampai di Bangko. Jalan raya di depannya kosong melompong, tak ada satu kendaraan pun yang lewat. Toko-toko di pinggir jalan juga sudah tutup. Pemandangan yang wajar mengingat sejak lima jam yang lalu bulan sudah menggantung di langit. Agaknya bus ini sampai terlalu malam untuk kota di pelosok selatan Jambi ini.

Lima belas menit kemudian Shiwa datang dengan mobil kijang hijau botolnya. Ia memeluk Ran erat-erat sebelum menggiringnya masuk ke dalam mobil. Sudah satu tahun sejak terakhir mereka bertemu. Rasa rindu yang pekat menyelimuti seisi mobil. Kenangan masa kuliah berkelebatan di kepala Ran dan ia masih tak percaya akhirnya bisa bertemu kembali dengan cewek jenius ini.

Mobil mereka melaju melewati daerah yang sepertinya pasar-semua tokonya sudah tutup-terus lurus menyeberangi sebuah jembatan yang berdiri di atas sungai yang hanya bisa Ran dengar suara arusnya saja.

"Sepi banget, ya, Wa. Padahal kalau di Jatinangor jam segini pasti masih ramai banget."

"Namanya juga Sumatera, belum ramai seperti Jawa. Kamu pasti sudah lihat sepanjang perjalananmu dari Lampung ke Bangko." Shiwa menjawab dengan logat Jambi-nya yang tak bisa ia sembunyikan.

Jalanan menanjak, mereka melintasi sebuah SMP dan kompleks pemakaman umum. Ran memperhatikan sekitarnya yang sama kosongnya, masih takjub melihat sosok tidur kota ini. Mobil mereka bahkan menjadi satu-satunya kendaraan yang melaju. Sunyi yang menyelimuti terasa asing untuknya, tapi tetap menenangkan. Sepertinya pilihannya tepat untuk datang ke tempat Shiwa.

Tak lama mereka pun sampai di sebuah pertigaan dengan lampu lalu lintas yang terus mengedipkan lampu kuningnya. Mobil Shiwa berbelok ke kanan, berhenti di depan gerbang sebuah rumah asri yang berada tepat di pinggir jalan pertigaan itu. Posisi tusuk sate. Entah siapa pemiliknya, yang jelas bukan sahabatnya, karena ia tahu bahwa rumah sahabatnya masih jauh lebih pelosok dari kota ini.

Setelah memarkir mobil, Shiwa menuntun Ran untuk langsung naik ke lantai dua, semua orang di rumah itu sudah terlelap tidur hingga mereka harus mengendap-endap. Wajar saja, kini jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat.

Ran merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit. Betapa jauh ia pergi kali ini, menyeberangi Selat Sunda menuju pulau di barat Indonesia yang sama sekali belum pernah ia sambangi. Berbekal tekad untuk melupakan, Ran nekat datang ke sini, berdalih pada Shiwa bahwa ia ingin melihat kampung halamannya yang eksotis itu. Ran sudah memutus semua komunikasinya dengan orang-orang di pulau Jawa sana. Selama sepuluh hari ke depan ia ingin menenangkan diri, me-reset kembali hatinya yang sudah terlanjur penuh, oleh bayangan seseorang.

-

Bogor, Agustus 2019

Arkan mengingat dengan jelas pertemuan pertama mereka, perasaan terkejutnya saat itu dan sosok mungilnya menggendong keril. Tiga tahun sudah berlalu dan kini ia tak tahu di mana keberadaan Ran. Cewek itu menghilang secepat datangnya, hanya mampir sebentar di hidupnya sebagai pemanis. Ia tidak menyalahkan Ran atas nasib mereka sekarang, semua salahnya. Ia terus meragu untuk mengungkapkan perasaannya sendiri dan kini ia harus menanggung kerinduannya sendiri.

Arkan kini berada di Stasiun Bogor dengan keril di punggungnya. Sejak satu jam yang lalu ia menunggu rombongan peneliti senior dari organisasi kehutanan non-profit tempatnya sekarang bekerja sebagai asisten peneliti. Sebagai S. Hut (Sarjana Kehutanan), bekerja di bidang yang sesuai dengan spesifikasinya ini tentu menyenangkan. Ia yang memang hobi blusukan ke hutan-hutan sejak zaman SMA dulu tentu amat menikmati pekerjaannya. Membelah hutan, meneliti sifat-sifatnya, melihat gejala-gejalanya untuk akhirnya dapat diformulasikan menjadi sebuah jawaban penelitian.

Arkan memandangi Stasiun Bogor yang sudah banyak berubah sejak terakhir kali ia ke mari. Rasa rindu di hatinya mendadak berubah menyakitkan. Ia bagai terhempas ke dalam lorong waktu dan mendapati sosok mungil itu kini berdiri di hadapannya. Rambut sebahunya yang di kuncir, keril merah di punggungnya, matanya yang berbinar dan senyum cerahnya ...

Datang ke sini setelah menghilangnya Ran bagai siksaan untuknya. Betapa ia ingin melihat sosok itu lagi. Terakhir kali mereka bertemu ia belum sempat menyampaikan hal penting hingga ia kini merasa bagai orang bodoh. Ia terlalu takut untuk mengikuti kata hatinya, bertingkah bagai pengecut dan pergi tanpa pernah memastikan.

Kini ia bertekad mencari keberadaan Ran yang bagai tertelan Bumi. Ia harus menemukan Ran sebelum cewek itu berlabuh ke arah yang sama sekali tak bisa ia capai. []

.


.

Hai ..... I guess? Hahaha
So this is the extended version of "Arkan".

Sebenarnya, cerita ini sudah selesai sejak pertengahan tahun 2020. Sekarang aku akan posting di sini bertahap semua chapternya.

Semoga ada yang baca HAHAHAHH.

[4 Des 2021]

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang