Alun-alun Surya Kencana, Gunung Gede Pangrango, September 2016 ...
Arkan menatap ke arah Ran sepanjang makan malam. Kertas nasi yang sudah disusun memanjang dipenuhi semua anggota yang kelaparan. Menunya sederhana saja, nasi putih agak pera dengan sayur sop, nuget, sosis dan kornet goreng. Arkan mengangsurkan segelas air panas yang dengan cepat mendingin pada Ran yang menerimanya dengan anggukan tipis.
Selesai makan, Arkan menahan Ran yang akan masuk ke dalam tenda. Ia meminta cewek itu untuk duduk sebentar supaya ia bisa memeriksa luka di kakinya. Arkan sedikit lega ketika Ran menurut, walau masih belum mau bicara. Perlahan Ran menggulung celananya sebatas lutut dan terlihatlah luka lebam yang masih berwarna biru muda di tulang keringnya dan sisi lutut. Dewi duduk di sebelah Ran memperhatikan.
Arkan tanpa sadar meringis. Pun Dewi yang wajahnya kini tampak seperti dialah yang kakinya lebam. Dari dalam tas kecil, Arkan mengeluarkan balsam. Perlahan ia membalur luka memar itu hingga tertutup seluruhnya.
"Ada lagi luka yang lain?" Tanya Arkan.
Ran menggeleng.
Arkan mengangguk dan membiarkan Ran yang masuk ke dalam tenda, tapi menahan Dewi yang akan menyusul.
"Pastiin lagi ada nggak luka lain, takutnya dia nggak mau jujur sama aku," Arkan meminta dengan wajah cemas, ia terus memandangi tenda cewek.
Dewi menyipit, "Kamu ya aku perhatiin dari tadi makan ngeliatin Ran terus, sekarang juga, ngomong sama aku tapi matanya ke tenda! Helooo! Emang keliatan dia di dalem sana?"
Arkan menoleh salah tingkah, "Ya pokoknya pastiin! Aku nggak mau dia kenapa-napa di sini."
"Ngeri!" Ledek Dewi. "Apa ini tiba-tiba kamu perhatian banget sama Ran? Kalo karena keinget Rani--"
Arkan mendecak, "Dia jatoh sebelum kita nyampe puncak. Bisa gawat kalau dia kenapa-napa pas kita masih di atas gini. Perjalanan kita masih panjang. Besok muncak dan turun. Kamu mikirnya ke mana sih."
Dewi mencibir, "Ya yaa ... oke, aku masuk. Aku pastiin lagi Ran-mu nggak kenapa-napa biar kamu tenang malam ini tidurnya."
Arkan menahan protesnya ketika mendengar "Ran-mu" dari mulut Dewi. Ia tidak mau berdebat dengan Dewi sekarang. Di sini. Takut hantu-hantu di hutan ini bangun karena terganggu dengan suara Dewi kalau sudah mencak-mencak.
"Ya udah masuk sana buruan." Arkan mendorong bahu Dewi.
Dewi tersenyum simpul sambil menyipit menatap Arkan. Sungguh senyum yang menyebalkan. Anak itu bahkan menutup perlahan tendanya supaya Arkan bisa melihat Ran yang sudah berbaring di dalam balutan kantung tidurnya.
Sial Dewi.
-
Esoknya Arkan bangun sebelum matahari terbit. Dingin yang menggigit sepanjang malam tidak menghalangi tidur nyenyaknya berkat kantung tidurnya yang sangat nyaman. Ia keluar dari tenda besar berisi enam orang, memakai sepatunya dan menyalakan kompor kecil yang semalaman dibiarkan di luar. Ia menaruh teko kecil di atas api, berisi air dari derigen untuk didihkan.
"Kan, bangun duluan lu," Zaki keluar dari dalam tenda, sedikit meringkuk ia mendekati Arkan.
"Ngopi bang?" Tawar Arkan.
"Boleh banget." Zaki mengeluarkan gelas kecil dan menuang sebungkus kopi hitam ke dalamnya. "Semalem gua tidur di pinggir, rembes tenda, dingin banget, astagah!"
"Iya. Saya juga bang, kebangun gara-gara tenda nempel di kepala, kirain ujan, tapi sepi-sepi aja di luar." Arkan menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas Zaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Novela JuvenilHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...