e p i l o g

126 18 8
                                    

Haii! Apa kabar?

Maaf buat yang nunggu extra chapter. Tapi epilog ini sebagai ganti extra chapter yaaaa❤

⚠warning : epilog ini mengandung kata yang sangat panjang. 3000+ so gaiss happy reading<3

Jangan lupa tinggalin jejak ya<3

Thank uuu<3

Perlahan objek yang mulanya tampak buram kini mulai terlihat jelas. Denyutan di kepala juga masih terasa. Untuk menoleh saja berat sekali rasanya. Akan tetapi, bukan Valen namanya jika tidak bangkit meskipun kepalanya sedang berdenyut hebat.

Gadis itu hendak memegang kepalanya, namun urung dengan alasan yakin bahwa sakit di kepalanya tidak ada apa-apanya daripada mendengar kabar bahwa Gladys tertembak.

"Mana Gladys?"

Sungguh Varel menyesali perbuatannya karena telah memberi tahu Valen keadaan Gladys. Pasalnya, dari tadi Valen keukeh ingin menghampiri Gladys.

"Jangan dulu. Kepala lo lagi sakit sekarang," cegah Varel.

"Kepala gue baik-baik aja. Gue mau samperin Gladys, Rel," ujar Valen khawatir.

"Sekarang bukan saatnya, Va. Gladys lagi dioperasi sebaiknya lo ke sana nanti pas operasi selesai."

"Jadi maksud lo kalo operasinya belum selesai gue nggak boleh ke sana? Gitu? Lo nggak tau seberapa berartinya Gladys buat gue, Rel. Dan gue cuman punya Gladys, sahabat gue satu-satunya. Gue harus ke sana, gue mau nemenin Gladys." Valen kalut sembari mencengkeram jaket Varel erat.

Sialnya bulir-bulir kristal itu sedang menggenang di kelopak matanya. Valen menunduk, mengelak bahwa ia akan menangis. Bahunya lemas. Sungguh Valen benar-benar tidak ingin menangis tapi bulir-bulir kristal itu jatuh tanpa seizinnya.

Bersamaan dengan isakan yang terdengar Valen menepis air matanya. "Lo bilang harusnya gue yang kena tembak tapi--" isakan yang tertahan kembali terdengar. "tapi Gladys ngorbanin nyawa dia buat gue," katanya dengan suara tertahan.

Saat mengangkat kepala, netranya bertubrukan dengan netra hitam legam milik Varel. "Dan sekarang apa? Yang harusnya terbaring di brankar  sekarang gue bukan Gladys. Harusnya gue nggak pingsan waktu itu dan ngebiarin gue yang ketembak."

Valen berkata dengan keadaan berderaian air mata dan ujung hidung yang memerah bak tomat. Dan ya, Varel berhasil dibuat sedikit terkejut dengan keadaan Valen. Pasalnya baru kali ini ia melihat gadis itu menangis sampai sesenggukan begini.

"Stupid! Apa dengan lo ketembak semua orang bakal baik-baik aja? Bahkan lo nggak berhak nyalahin diri lo sendiri, Va. Lo nggak bisa ngubah takdir. Ini bukan salah lo. Dan gue yakin kalo Gladys sadar nanti dia pasti seneng karena lo baik-baik aja," ujar Varel memegang kedua lengan Valen.

"Gladys sendirian di sana."

"Andry ada di sana," jawab Varel cepat.

"Gue nggak berhak larang lo buat nangis. Gue tau selama ini lo nggak pernah nangis karena semua masalah lo, lo pendem sendiri," lanjut Varel membawa Valen ke dalam pelukannya.

Valen memejamkan mata seolah ia telah kehilangan separuh bebannya hanya dengan sebuah pelukan. Seolah masalahnya hilang begitu saja hanya dengan sebuah pelukan. Dan seolah ia telah melupakan bebannya untuk sejenak hanya dengan sebuah pelukan.

VARELLE √ (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang