ALVABETH BY VALENT JOSETA
Instagram : @valentj8 & @hf.creations
****
Satu... Dua... Tiga...
Seperti biasa, terdapat tiga lembar surat di laci meja milik Betha. Bukan surat cinta ala roman picisan dari Alva, tapi surat ujaran kebencian dari "penggemar" Betha. Salah. Penggemar Alva yang mengatakan bahwa Betha terlalu tidak pantas bersanding dengan Alva.
"Gue harus gimana lagi, Tar?" Betha mengembuskan napasnya kasar setelah membaca surat-surat yang menyambut paginya selama tiga bulan ini.
Tarissa memasang wajah ibanya kemudian mengelus pundak Betha, berharap bisa menyalurkan kekuatan di sana.
"Kayak lagi di film-film detektif tahu nggak." Betha memejamkan matanya kemudian mengacak rambutnya.
"Kalau nggak suka ya langsung empat mata aja kenapa sih! Gue jabanin satu-satu deh!" sewot Tarissa emosi melihat sahabatnya diperlakukan layaknya kriminal begini.
Sekadar informasi, Tarissa adalah sahabat Betha yang paling berani. Iya, paling berani karena Tarissa sahabat Betha satu-satunya. Bercanda. Tarissa memang pemberani. Gayanya sedikit tomboy dengan rambut yang selalu dikuncir kuda dan tangan yang sering ia silangkan di depan dada atau dimasukkan ke dalam saku roknya.
"Nggak usah lo pikirin, ya, Tha," pinta Tarissa berusaha menenangkan pikiran Betha. Sahabatnya memang tidak pernah menunjukkan bahwa ia sedang takut dan khawatir, tapi gelagatnya terlalu menunjukkan.
"Siapa yang ngirim, ya, Tar?" tanya Betha lirih. Pelajaran belum mulai, tapi energinya sudah hampir habis.
"Lo curiga sama Sandrina nggak?" tanya Tarissa balik.
Betha spontan menggeleng. "Sandrina nggak gitu orangnya."
Tarissa mendecak. "Lo tuh selalu positif sama orang lain, tapi negatif sama diri sendiri."
"Gue nggak negatif sama diri sendiri, Tar," elak Betha.
"Kalau nggak negatif, kenapa lo percaya sama surat-surat itu, Tha? Lo tuh cantik iya, pintar iya, kurang apa sih?" terang Tarissa pasrah. Entah sudah berapa kali dirinya mengingatkan Betha akan hal ini. Memang kenyataannya Betha cantik, cerdas, ceria, kurang apa lagi?
Betha menghela napasnya lagi kemudian memilih menyilangkan tangannya di atas meja kemudian membenamkan kepalanya di sana. Dari pada mendengarkan ceramah Tarissa sampai pelajaran mulai, lebih baik ia menyiapkan otaknya untuk menerima rumus Fisika lima belas menit lagi.
****
"Selamat pagi, Bethanny Alvirena," sapa sinis seorang gadis bertubuh ramping dan cukup tinggi dengan kulit yang sangat mulus dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Betha mendengus sebal tanpa berniat berbalik mendapati asal suara tadi. Harinya sudah cukup melelahkan karena surat-surat tadi dan Betha tidak butuh tambahan perusak hari lagi.
"Masih butuh sapaan lagi?" tanya suara tadi semakin sinis. Kini kakinya mulai mendekati Betha.
"Kenapa?" tanya Betha malas setelah gadis sinis tadi sampai di hadapannya.
"Jauhin Alva," perintah gadis tadi tidak tahu diri.
Betha mengangkat satu alisnya. Nama gadis itu saja Betha tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia harus menjauhi pacarnya sendiri karena gadis ini? Ingat ya, pacarnya sendiri.
"Alasannya?" tanya Betha logis.
"Lo nggak pantas buat Alva."
Betha melebarkan bola matanya kemudian meneguk salivanya berat. Kalimat itu selalu meruntuhkan pertahanannya untuk berani. Entah ada mantera apa di dalam kalimat itu, tapi setelah Sandrina sering mengatakannya, Betha selalu kalah telak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVABETH
Teen Fiction"Lo anak IPA, belajar Fisika, 'kan? Selamanya akan selalu ada Betha di antara Alva dan Gamma." **** Kata orang, jatuh cinta itu harus siap sakit hati dan melepaskan. Hal itu dialami oleh Alva, lelaki cuek dengan jiwa kepemimpinan tinggi dan berbagai...