Welcome di 2 part terakhirnya ALVABETH! 😆Selamat membacaa! 💜💜
****
Betha megacak rambutnya frustrasi lalu memejamkan mata dan bersandar di kursi belajarnya secara kasar. “Sakit kepala gue lama-lama,” gerutu Betha sembari memijat pelipisnya.
Sudah dua jam dia berusaha mengerjakan 15 dari 40 soal Fisika yang entah sejak kapan menjadi sulit ini. Entah soalnya yang menjadi sulit atau pikirannya yang terlalu kacau untuk sekadar fokus pada penyelesaian soal.
Sejak kejadian dua hari lalu bersama Delta, Betha benar-benar tidak bisa fokus karena memikirkan lelaki itu. Apakah Delta benar-benar tidak membencinya? Seberapa sakit hati Delta dibuatnya? Kenapa dia bisa setega itu pada Delta? Apa sulitnya membalas perasaan lelaki itu?
Selain itu, Alva yang menjadi sangat diam belakangan ini membuat Betha penasaran apa yang terjadi pada lelaki itu. Ya, karena sedikit atau banyak, Betha masih peduli padanya. Ditambah lagi masih ada beberapa urusan di OSIS yang harus diselesaikan dan persiapan SBMPTN yang semakin hari semakin serius. Semuanya benar-benar membuat pikiran Betha lelah dan sedikit jenuh dengan rutinitasnya.
Dering ponsel memaksa Betha untuk beranjak dari kursinya dan mengambil benda pipih itu di atas nakas. Betha melepaskan charger dari ponselnya lalu menekan dial hijau dengan dahi yang mengernyit.
“Halo?” sapa Betha ragu-ragu.
“Halo,” sapa sang penelepon sama ragu-ragunya.
“Kenapa, Al?”
“Lagi apa, Tha?”
Dahi Betha mengerut. “Lagi ... lagi kerjain Fisika.”
“Udah makan?”
Dahi Betha semakin mengerut. Kenapa Alva jadi seperti orang yang sedang PDKT begini.
“Tha?” panggil Alva karena Betha tak kunjung menjawab.
“Eh, i-iya udah. Eh, belum. Kamu kenapa, sih?” tanya Betha heran.
Alva menggeleng walaupun Betha tidak bisa melihatnya. “Nggak kenapa-napa. Memangnya kenapa?”
Betha terkekeh. “Apa sih? Kenapa kamu grogi gini? Kayak orang lagi PDKT tahu,” ledek Betha.
Alva ikut terkekeh, menyadari kegugupannya. Dia mengembuskan napasnya perlahan lalu kembali bertanya, “Jadi, sudah makan belum?”
“Belum,” jawab Betha sambil menggeleng polos.
“Aku lagi beli makanan, pulangnya sekalian ke rumah kamu, ya.”
“Eh, hah? Nggak usah, ngapain?”
“Katanya tadi belum makan. Sekalian aku bantuin bikin tugas Fisika.”
Betha mengernyitkan dahinya lagi. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba gatal. “Ya, boleh, sih. Terserah, deh,” balas Betha bingugn setengah mati.
“Okay, tunggu, ya.”
Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Alva, membuat Betha kembali menggaruk kepalanya lalu menggeleng. “Aneh banget mantan gue,” gumam Betha pasrah.
****
Sepuluh menit kemudian, Alva benar-benar ada di samping Betha sekarang. Tadi, saat Betha tanya kenapa lelaki itu sangat random malam ini, Alva hanya menjawab bahwa dirinya bosan di rumah. Sejujurnya, jawaban yang kurang memuaskan dan sangat aneh, tapi Betha memilih tidak bertanya lebih lanjut. Toh, kehadiran Alva sekarang cukup mengurai lelah yang dia rasakan belakangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVABETH
Teen Fiction"Lo anak IPA, belajar Fisika, 'kan? Selamanya akan selalu ada Betha di antara Alva dan Gamma." **** Kata orang, jatuh cinta itu harus siap sakit hati dan melepaskan. Hal itu dialami oleh Alva, lelaki cuek dengan jiwa kepemimpinan tinggi dan berbagai...