Jadi Gamma beneran marah gak ya ?
Happy Reading!****
"Kirain sama Kak Betha. Soalnya Gamma nggak merasa diperlakukan sebagai pacar daritadi."
Perkataan Gamma menggantung di udara. Beberapa waktu berikutnya hanya diisi oleh suara aliran air dan dentingan piring yang Gamma cuci dan simpan di rak. Alva mengamati gadis itu dari belakang dengan tatapan tak terbaca. Setelah selesai mencuci piring, Gamma kembali ke tempat duduknya.
"Gimana keadaan Kak Alva?" tanya Gamma seolah tak terjadi apa-apa. Nada bicaranya masih cukup dingin, tapi terselip kekhawatiran pada sorot matanya.
Alva tersenyum hambar. "Jauh lebih baik," jawabnya setenang mungkin.
"Harus minum obat lagi, 'kan? Mana obatnya?"
Alva melirik nampan yang terletak di atas meja kecil di samping kulkas. "Di sana," tunjuknya yang langsung diikuti oleh gerakan Gamma.
Gamma membaca petunjuk di bungkus obat-obat di sana dengan saksama, mengambil obat yang harus Alva konsumsi tiga kali sehari, lalu mengambil segelas air mineral. Setelah gelas terisi penuh, Gamma kembali mendekati Alva dan menyerahkan obat dan gelas di tangannya.
"Makasih, Althea," ucap Alva setelah menghabiskan air di gelasnya.
Gamma tersenyum sambil mengangguk. Dia menduduki kursi yang tadi ditempati oleh Bunda Nadia. "Gamma nggak marah, Kak Alva," ucapnya lembut.
Alva menatap Gamma bingung. "Lo berhak marah, Al," lirihnya.
Gamma menggeleng. "Gamma nggak nyaman sama keadaan tadi. Maaf kalau Gamma jadi emosi. Gamma 'kan udah janji akan bantu Kak Alva untuk membuktikan keseriusan Kak Alva, jadi seharusnya Gamma juga bisa mengerti, 'kan?"
Alva meringis pelan. Perkataan Gamma cukup menyayat hatinya. Dengan semua kebaikan dan pengertian Gamma, dirinya masih saja melukai gadis itu.
"Kak Alva pasti kangen banget ya sama Kak Betha?"
Dua kali. Gamma tampaknya senang melihat Alva meringis tersudutkan begini. Sebenarnya Alva yang terlalu jahat atau Gamma yang terlalu baik?
"Kalau gue jawab iya, apa gue terlalu jahat, Al?" Dari banyaknya kalimat penolakkan di otak Alva, hanya kalimat ini yang berhasil lolos.
Gamma menggeleng polos lalu tersenyum lagi. "Gamma juga pernah kangen sama orang di masa lalu, tapi bukan berarti Gamma nggak sayang sama Kak Alva, 'kan? Gamma ngerti, kok,"
"Jadi lo yakin gue sayang sama lo ceritanya?" Alva mendadak semangat untuk kembali menggoda Gamma. Binar matanya saja sudah berubah sekarang.
"Memangnya nggak?" tanya Gamma hati-hati. Dia sudah siap dengan segala jawaban terburuk yang akan Alva berikan.
"Sayang sih."
Kalimat Alva terasa menggantung di pendengaran Gamma. "Tapi?" balas Gamma polos, berharap Alva melanjutkan kalimatnya.
"Nggak pakai tapi, ya sayang aja!" sewot Alva seketika.
Gamma cekikikan sendiri mendengar kalimat sewot Alva. "Kalau Gamma sih sayang banget."
****
Langit malam Jakarta kurang bersahabat malam ini. Angin berembus kencang menggugurkan daun dari pohon-pohon di taman belakang rumah Delta. Tapi, tampaknya angin sekencang ini tidak meruntuhkan kesukaan Delta untuk terus membaca buku "Sejarah Dunia yang Disembunyikan" karya Jonathan Black. Lelaki itu masih betah duduk di balkon kamarnya, walaupun terkadang angin sengaja membalikkan beberapa halaman bukunya, membuat Delta lupa sudah membaca sampai mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVABETH
Teen Fiction"Lo anak IPA, belajar Fisika, 'kan? Selamanya akan selalu ada Betha di antara Alva dan Gamma." **** Kata orang, jatuh cinta itu harus siap sakit hati dan melepaskan. Hal itu dialami oleh Alva, lelaki cuek dengan jiwa kepemimpinan tinggi dan berbagai...