"Gue tanya sekali lagi. Lo yakin, Ta?"
"Iya."
"Lo nggak bercanda kan ini?"
"Iya, Attaaaa. Kenapa sih? Nggak percaya banget."
"Ya, emang nggak percaya. Beneran ni? Gue keluar ni kalo lo ragu-ragu."
"Ck, ah, cerewet banget. Gue yakin seratus persen, Attala Ibrahim Al Farras!"
"Sampe tengah jalan lo ngerengek nangis minta pulang, gue geplak ya!"
"Lo pikir gue masih bocah? Udah cuss lanjut!"
Attala yang masih dengan semua ketidakpercayaannya terus melajukan mobilnya yang sudah berada tol itu lanjut ke arah Bandung. Lelaki itu sampai harus bertanya berkali-kali tentang keputusan impulsif Areta yang ingin ikut ke Bandung. Jika memang sahabatnya itu ragu-ragu, dia akan keluar tol dan kembali ke Jakarta. Tapi Areta masih tetap dengan pendiriannya. Ikut Attala ke Bandung.
"Lo nggak apa-apa bolos kerja gini, Ta?" tanya Attala yang masih khawatir.
"Nggak apa-apa, barusan gue izin sama Mbak Sasa. Kebetulan gue lagi nggak ada kerjaan yang deadline hari ini."
"Bilang apa lo sama Mbak Sasa?"
"Ada urusan keluarga. Mendadak. Hhee."
Attala melirik sekilas Areta yang kini sedang meringis memperlihatkan gigi-gigi rapinya. Pria itu menoyor pelan kepala gadis di sampingnya, yang otomatis mendapat balasan berupa umpatan dari yang kepalanya baru saja ditoyor.
Lagu di media player berhenti, digantikan oleh nada dering dari ponsel Areta yang menandakan ada panggilan telepon masuk. Areta mematikan mode bluetooth di ponselnya, lalu mengangkat telepon yang ternyata dari Bhumi itu.
"Halo."
"Udah sampe kantor, Yang?"
Areta diam sejenak. Dadanya tiba-tiba kembali diliputi rasa sesak. Sejak pertengkaran mereka semalam, keduanya memang belum sempat bertukar kabar. Areta masih merasa kesal, jadi dia belum mengabari kegiatannya sampai siang ini ke kekasihnya itu. Bisa dibilang Areta gengsi untuk mengirim kabar terlebih dahulu.
Tapi Bhumi tetaplah Bhumi. Semarah apapun lelaki itu, dia akan tetap menjaga komunikasinya dengan Areta. Menurutnya, sebuah hubungan harus dibangun dengan komunikasi yang baik. Terlalu lama saling diam dan memendam emosi akan merusak hubungan yang sudah terjalin dengan sangat baik selama satu tahun terakhir ini.
"Hm? Aku nggak ngantor kok, Yang."
"Loh? Kenapa? Kamu sakit?" suara Bhumi terdengar panik.
"Bukan, aku nggak sakit," Areta meneguk ludahnya sejenak. "Aku lagi di jalan sekarang sama Attala. Mau ke Bandung," lanjutnya sambil melirik Attala sekilas.
"Ada acara apa ke Bandung? Kok mendadak?"
"Nggak ada acara apa-apa sih? Tadi Atta ke rumah habis dari kampus sama Aidan. Awalnya sih dia mau anter aku berangkat kantor, tapi terus dia cerita mau ke Bandung habis nganterin aku. Yaudah deh aku ikut aja."
"Terus kerjaan kamu?"
"Aku udah bilang sama Mbak Sasa kok. Bilang ada urusan keluarga mendadak, hehe," Areta terkekeh kaku, berusaha untuk mencairkan suasana--
"Oh."
--Tapi gagal.
Jawaban singkat Bhumi membuat Areta tidak nyaman. Dia tahu suasana hati Bhumi kembali memburuk.
"Yaudah ati-ati, ya. Kabarin kalo mau pulang."
"Iya, Yang. Nanti aku kabarin lagi ya."
Areta menjauhkan ponselnya dari telinganya lalu menggenggam erat benda hitam kecil itu sambil menundukkan kepalanya. Dia menggigit bibir bawahnya karena dadanya masih terasa sesak. Tiba-tiba dia merasa ingin menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.