43

224 34 10
                                    

Lima belas menit sebelum jam istirahat, suasana lantai dua kantor Efharis mendadak riuh akibat kabar dan barang yang dibawa oleh Heksa. Benda kotak berukuran tidak lebih besar dari setengah kertas A4 berwarna kombinasi putih dan coklat, kini sudah berada di tangan masing-masing staf Efharis. Semuanya sibuk mengamati desain serta membaca isi detail acara yang tertulis di sana.

"Ceritanya beneran kawin, ni, Mas?" celetuk Danendra, masih dengan mata fokus pada undangan pernikahan milik Heksa.

"Nikah, Dan. Kalau kawinnya, sih, udah sering si Heksa," sahut Mbak Wida.

"Mbak Wida, ih!" Heksa memberengut.

"Terus udah jadi DP-an lo, Sa?" lanjut Mbak Wida.

"DP rumah? Udah dong," jawab Heksa bangga.

"Kok, DP rumah? DP anak, lah. Kan, kata lo kemarenan cewek lo pusing sama muntah-muntah, hahaha." Kalimat Mbak Wida otomatis memicu gelak tawa dari yang lain juga.

"Ck, dibilangin dia vertigonya kumat. Senista itu gue di mata kalian, hm?" Pertanyaan Heksa disambut anggukan oleh rekan-rekannya, yang membuat Heksa mengumpat pelan. "Gue nggak berani DP-DP begitu, bapaknya serem." Heksa bergidik membayangkan calon mertuanya.

"Apaan, ni, rame-rame?" Suara berat Attala yang baru saja keluar dari ruangannya, mengundang atensi teman-temannya. Mereka kompak menoleh ke Attala, lalu mengajaknya untuk ikut berkumpul.

"Mas Heksa jadi nikah, Ta. Ni, dia lagi bagi-bagi undangan," jawab Tere sambil menyodorkan undangan yang bertuliskan nama Attala di bagian depannya.

"Weiiisss, mantap! Minggu depan banget, Mas?" ujar Attala.

"Biar nggak pada lupa," jawab Heksa.

"Tapi mendadak ini jatuhnya."

"Emang lo ada acara?"

"Ya, nggak, sih." Jawaban Attala sukses mengundang tendangan dari Heksa di pantatnya.

"Mas, ini punya Hana kok di sini?"

Pertanyaan Tere membuat semua yang ada di sana spontan menoleh padanya. Termasuk Attala yang langsung menajamkan pendengarannya begitu nama Hana disebut.

"Oh iya, siniin. Kecampur berarti," jawab Heksa meminta kembali undangan milik Hana.

"Hana lo undang juga, Mas?"

"Iya, kan kenal. Gue nggak milih-milih orangnya."

"Mau nitip gue? Ntar gue mau ke daerah Setiabudi, bisa sekalian mampir ke rumahnya."

Heksa menggeleng. "Nggak usah, makasih. Gue udah janjian kok sama dia," jawab Heksa santai.

Lelaki yang seminggu lagi akan menikah itu tidak sadar jika Attala tengah memberi tatapan sengit padanya karena modus Attala supaya bisa bertemu dengan Hana dipatahkan begitu saja olehnya.

Sejak putus dari Areta dua minggu yang lalu, Attala masih belum menemui Hana karena pekerjaannya yang mulai tidak mengenal waktu. Pekerjaan yang sering memaksanya pulang hingga larut malam itu pula yang membuatnya sering absen antar-jemput Areta.

Oleh karenanya, Areta memintanya untuk berhenti mengantar-jemput sebab keadaan gadis itu sudah jauh lebih baik. Dia sudah bisa berangkat sendiri naik mobil.

Aidan yang mengetahui keadaan Areta yang tidak baik-baik saja —walaupun gadis itu belum bercerita apa-apa—, melarang keras kakaknya itu untuk mengendarai motor sendiri. Dia tidak mau Areta mengalami sesuatu yang tidak diinginkan seperti beberapa tahun lalu. Areta yang sedang kalut, sering berpotensi membahayakan diri sendiri.

Kembali ke kekacauan lantai dua yang berangsur mereda seiring jam istirahat yang semakin dekat. Satu per satu staf Efharis meninggalkan tempat mereka berkumpul itu untuk menghabiskan waktu istirahat mereka, baik di pantry maupun keluar kantor. Ada pula yang kembali ke ruangan atau kubikel untuk meneruskan pekerjaan karena dikejar deadline.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang