38

177 26 17
                                    

pemanasan dulu, ini OST buat chapter ini hihihi
brace yourself for this chapter hehehe

***

Areta tidak bisa tidur semalaman. Rasa bersalah mulai menyiksa dirinya. Dia sangat menyesal atas sikapnya kemarin. Seharusnya dia tidak perlu marah-marah pada Bhumi. Kekasihnya itu teramat lelah usai kunjungan proyeknya di Makassar selama seminggu lebih, bukannya menghibur, Areta justru marah-marah.

Ingin sekali menghubungi Bhumi untuk minta maaf, namun setiap nama lelaki itu sudah terpampang di layar ponselnya, nyali Areta selalu menciut. Dia takut Bhumi terlanjur marah dan tidak mau menerima maafnya.

"Aaarrghh!" Areta mengacak-acak rambutnya kasar. Kakinya menendang-nendang selimut hingga berantakan. "Kenapa gue jadi kayak gini? Kenapa sekarang gue harus selalu mikir berulang kali kalau mau nelpon Mas Bhumi?"

Areta meracau berkali-kali pada dirinya sendiri.

Hingga pagi menyapa, Areta masih bergeming di posisi yang sama sejak semalam. Duduk berselonjor di atas kasur dengan punggung bersandar pada headboard.

Saat sinar matahari mulai menyusup masuk melalui celah gorden, Areta akhirnya memutuskan turun dari kasur dan pergi ke ruang makan untuk mengambil minum.

Aidan yang juga baru saja keluar dari kamar menatap horor kakaknya yang tampilannya acak-acakan. "Lo kenapa deh, Kak?"

Areta tak menghiraukan pertanyaan adiknya. Gadis itu tetap melanjutkan langkahnya menuju ruang makan, diikuti Aidan di belakang tapi lelaki itu berbelok ke garasi untuk memanasi mesin motor dan mobil di sana.

Di ruang makan, Tasya sedang mempersiapkan sarapan. Wanita itu menoleh saat mendengar suara kursi bergeser dan seketika berteriak melihat kepala yang tertutup rambut panjang tergeletak di atas meja makan.

"Areta! Kamu ngaget-ngagetin mama!"

"Kepala aku pusing, Ma," jawab Areta tanpa mengubah posisinya.

"Sakit?"

Areta bergumam.

"Nggak berangkat kerja?"

Areta bergumam lagi.

"Yaudah, habis ini makan dulu. Baru habis itu minum obat."

Areta mengangguk dalam diam. Semalaman menangis dan terjaga, membuatnya baru merasakan kepalanya menjadi pusing serta sangat berat.

"Kak, kunci motor lo. Lupa kemaren mau gue kasihin lo," Aidan meletakkan kunci motor Areta di atas meja usai dirinya memanaskan motor Areta dan miliknya sendiri.

Areta akhirnya mengangkat kepalanya sambil berdesis dan mata memicing, menahan pusing di kepalanya. "Kok kunci motor gue di lo? Bukannya motor gue dibawa Mas Bhumi?"

"Nggak kok, kemaren Mas Bhumi ngasih kunci lo ke gue. Katanya lo udah ke kamar. Lo kenapa, sih, dari kemaren aneh? Mas Bhumi di sini kok ditinggal ke kamar melulu?"

"Terus Mas Bhumi pulang naik apa?" Areta tidak menanggapi pertanyaan Aidan. Dirinya mulai dilanda panik ketika tahu Bhumi tidak pulang naik motor miliknya. Lagi-lagi dia merasa bersalah.

"Naik taksi. Gue mau nganter tapi dia bilang nggak usah. Terus tiba-tiba udah ada taksi dateng."

"Mama, aku ke rumah Mas Bhumi, ya," Areta bergegas balik ke kamarnya setelah meminta izin kepada sang mama. Dia tidak mendengarkan seruan Tasya yang mengkhawatirkan dirinya yang katanya sedang sakit.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang