Bonchap #2

204 14 0
                                    

Gian mengendarai mobilnya memasuki halaman rumah setelah pintu gerbang warna hitam di depannya dibuka oleh seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga di rumah yang tengah ia kunjungi ini. Begitu turun dari mobil, dirinya sudah disambut oleh seorang wanita paruh baya lainnya yang tengah berdiri di depan pintu utama.

Tampaknya, wanita itu juga baru akan masuk ke rumah. Terlihat dari penampilannya yang rapi.

"Loh, Gian? Ishanya belum pulang dari rumah sakit."

Gian mendekat lalu mencium punggung tangan wanita yang merupakan ibunda dari Isha Almeera, kekasihnya. "Iya, Gian tau, kok, Bun. Tadi udah chat-an sama Isha sebelum ke sini. Gian disuruh nunggu di sini aja katanya," jawab Gian setelah menegakkan badannya lagi.

"Oh, yaudah. Yuk, masuk." Fanny, ibunda Isha, mengajak Gian memasuki rumahnya. "Oh, iya, Gi, Bunda boleh minta tolong?"

"Selama Gian bisa bantu, Bun. Kenapa?"

"Lampu di kamar Isha tu mati tadi siang. Pak Arif —penjaga rumah— lagi cuti. Ayahnya Isha juga lagi keluar kota. Bunda nggak tau lagi mau minta tolong sama siapa. Untung kamu dateng."

"Oh, bisa, kok, Bun. Tangganya ada di tempat biasa, kan?"

"Eh, Ayah udah beli tongkat khusus buat ganti lampu. Bentar Bunda ambilin."

Fanny bergegas menuju ruang penyimpanan yang ada di dekat dapur. Diambilnya tongkat yang ia maksud beserta dengan bola lampu baru, lalu diserahkan pada Gian.

"Ayah beli itu katanya biar sewaktu-waktu lampunya putus, Bunda atau Isha bisa ganti sendiri. Tapi, tetep aja Bunda nggak ngerti cara pakenya. Nggak nyampe juga," gerutu Fanny yang kini tengah berjalan menuju kamar Isha bersama Gian yang hanya menanggapi dengan tawa pelan.

Sesampainya di kamar Isha, Gian langsung memutar tongkat tersebut menjadi lebih panjang. "Ini bisa dipanjangin gini, Bun. Jadi, Bunda juga pasti nyampe."

"Oh, bisa dipanjangin gitu ..." Fanny menatap takjub tongkat di tangan Gian.

Gian lagi-lagi terkikih melihat ibu dari kekasihnya itu. Kepolosan Isha memang menurun dari sang bunda. "Tapi, nggak apa-apa. Kalau pas lampu putus gini, mending panggil Gian aja kalau Pak Arif lagi nggak ada di rumah kayak sekarang."

"Hehe, iya, makasih, ya, Sayang. Yaudah, Bunda tinggal keluar dulu, ya."

"Jangan repot-repot, lho, Bun."

"GR kamu."

Keduanya sama-sama tertawa seiring Fanny yang melangkah keluar dari kamar putrinya. Gian melanjutkan kegiatannya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Gian untuk mengganti bola lampu di kamar kekasihnya itu. Langkahnya terayun ke arah tombol on-off di dekat pintu untuk mencoba apakah lampu sudah terpasang dengan benar atau belum. Lelaki itu mengangguk puas saat lampu menyala terang.

Sebelum keluar, Gian menyempatkan diri untuk memindai kamar kekasihnya itu. Kondisinya masih tetap sama, rapi dan wangi.

Sudah cukup lama, dia tidak masuk ke kamar ini karena dirinya yang memang sudah mulai jarang berkunjung. Kesibukannya dan Isha tidak memungkinkan untuk mereka berdua bertemu di rumah. Mereka lebih sering meluangkan waktu untuk bertemu di luar di sela-sela kegiatan mereka.

Pandangan Gian berhenti pada meja di samping ranjang yang sering digunakan Isha untuk belajar atau bekerja. Sebuah map berlogo NUS (National University of Singapore) menarik perhatian pria yang berprofesi sebagai dosen itu. Dia melangkah mendekat dan meraih map tersebut.

Dibukanya map tersebut dan membaca isinya sekilas. Sudah lama Isha tidak bercerita tentang kelanjutan beasiswa studinya di sana. Satu lembar, dua lembar, Gian masih membacanya sekilas. Sampai pada lembar ketiga, keningnya berkerut sempurna. Surat tersebut berisi tentang pengembalian aplikasi permohonan beasiswa Isha, di mana itu artinya Isha tidak dapat melanjutkan studinya di sana.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang