17

187 30 11
                                    

"Gis, bisa nggak kamu berempati sedikit? Aku ke sini tu bukan buat liburan lho. Aku takziah."

"Ya, tetep aja kamu tu perginya sama Naraya. Emang nggak bisa ya kamu nelpon pacarnya Naraya, ngucapin bela sungkawa lewat telepon aja? Nggak perlu sampe ke Semarang."

"Astaghfirullah. Aku nggak ngerti sama kamu, Gis. Mending aku tutup aja ya teleponnya."

"Tu kan! Kamu selalu gitu. Lebih mentingin temen-temen kamu!"

"Aku nggak lebih mentingin siapa daripada siapa. Aku capek, semaleman belum tidur. Aku nggak mau berantem. Dan aku juga mesti ngehormatin Mas Bhumi."

"Kamu yang selalu bikin kita berantem, Ta!"

"Iya, aku yang salah. Udah ya, aku tutup dulu."

Tanpa menunggu jawaban Giska, Attala sudah memutus sambungan teleponnya. Dia mengusap kasar wajahnya, lelah menghadapi Giska yang pagi-pagi sudah ngamuk gara-gara baru diberi tahu tentang Attala yang sudah ada di Semarang untuk melayat ayah Bhumi.

Pagi tadi sekitar pukul enam pagi, rombongan Areta sampai di rumah orang tua Bhumi. Rumah tersebut sudah mulai ramai pelayat. Jenazah ayah Bhumi pun sudah disemayamkan di dalam ruang tamu. Ibunda Bhumi setia menemani jenazah sang suami dengan duduk di sampingnya. Beliau terlihat tegar dengan bibir yang terus melafalkan doa-doa untuk suaminya.

Begitu datang tadi, Areta terus menemani ibu dari kekasihnya itu.

Sementara Bhumi sibuk menyambut para pelayat yang datang. Dia pun tampak tegar dan kuat, sesekali terulas senyum di bibirnya tapi raut lelah dan sedih di wajahnya tak bisa berbohong.

"Atta."

Attala menoleh mencari siapa yang memanggilnya. Didapatinya Areta sudah berdiri di belakangnya. Dia memutar tubuhnya hingga menghadap sepenuhnya pada Areta. Mereka saat ini sedang berada di luar rumah, menepi dari banyaknya pelayat yang datang.

"Kenapa, Ta?"

"Istirahat dulu, gih, di kamar Mas Bhumi. Zaky sama Gian juga lagi istirahat. Nanti kalau papa udah mau dimakamin, gue panggil."

"Iya, ntar gampang, Ta."

"Istirahat, Ta. Lo pasti capek banget kan semaleman nggak tidur."

Attala tersenyum tipis lalu mengangguk pelan.

"Ta."

"Hm?"

"Habis pemakaman lo sama anak-anak pulang ke Jakarta aja, ya."

Attala mengerutkan keningnya tak paham. Tapi dia masih menunggu kelanjutan kalimat Areta.

"Mumpung ini hari Sabtu. Besok masih bisa istirahat."

"Areta."

"Hm?"

"Lo denger ya?"

"Apa?"

"Obrolan gue sama Giska tadi."

Areta meneguk saliva dan menatap mata Attala yang sudah menatapnya terlebih dulu. Dia mengangguk pelan. "Maaf," ujarnya lirih kemudian menundukkan kepalanya.

Attala mengusap kasar wajahnya lagi. Kembali, rasa bersalahnya pada Areta menguasai dirinya. Dia memegang kedua pundak Areta lalu membungkukkan badannya untuk mensejajarkan wajah mereka. "Ta, look at me."

Areta mengangkat kepalanya dan mendapati wajah Attala sudah berjarak sangat dekat dengannya.

"Gue yang harusnya minta maaf. Ini bukan salah lo sama sekali. Please, gue nggak mau lo jauhin gue gara-gara masalah ini. Oke?"

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang