40

237 32 3
                                    

Hari Senin ini, seharusnya menjadi Senin yang cukup menyenangkan bagi para staf Efharis sebab Mas Denni sedang keluar kota hingga tiga hari ke depan, sehingga suasana kantor bisa menjadi lebih tenang, adem, dan tidak kemrungsung.

Istilah I hate Monday harusnya tidak berlaku di hari ini. Tapi hal itu tampaknya tidak berlaku bagi Attala yang mood-nya masih sangat jelek hari ini. Apa lagi penyebabnya jika bukan masalah Areta yang putus dengan Bhumi?

Attala benar-benar tidak menyangka jika dua orang sahabatnya itu mengambil keputusan yang luar biasa mengejutkan dan menyakitkan. Bisa-bisanya mereka tiba-tiba putus ketika mereka sudah mulai membicarakan soal pernikahan.

Selama ini mereka terlihat tidak punya masalah, masih mesra, masih menjadi bucin alias budak cinta terhadap satu sama lain. Oleh karena itu, kabar putusnya mereka jadi sangat mengejutkan bagi semua orang. Bahkan Areta sendiri pun masih belum percaya atas keputusan sepihak Bhumi tentang hubungan mereka.

Orang sabar seperti Bhumi bisa dianalogikan seperti bom waktu. Jika sedang dilanda masalah, dia tidak begitu suka membagikannya pada orang lain. Dia lebih memilih untuk memendamnya sendiri. Namun, saat sudah tidak sanggup menahan beban masalahnya, dia akan meledak seketika dan menghancurkan semuanya. Seperti yang sudah Bhumi lakukan saat ini. Dia sudah meledak dan menghancurkan Areta serta dirinya sendiri, serta orang-orang di sekitar mereka.

Suara sebuah benda yang diletakkan di atas meja membuat Attala terkesiap dan tersadar dari lamunannya. Lelaki yang sedang menghadap layar komputer itu sontak menoleh dan mendapati Hana tengah berdiri di depan meja kerjanya.

Attala memindahkan pandangannya ke benda yang diletakkan Hana dan mengamatinya beberapa detik sebelum akhirnya kembali menatap Hana dengan tatapan bertanya.

"Kemarin kan Kak Attala bilang pengin saya buatkan bekal lagi. Itu bekalnya," jawab Hana sambil menunjuk kotak bekal yang sudah tidak asing bagi Attala.

Attala melotot, terkejut dengan kata-kata Hana, "Han, it was— I was kidding. You don't need to take it too seriously"

Hana tersenyum lebar, "It's okay. Kak Attala mau serius atau bercanda kemarin. Saya yang mau bikinin bekal buat Kak Attala."

Attala masih bergeming, menatap gadis di depannya begitu dalam.

"Just consider it as... euumm," Hana menggumam untuk berpikir kata-kata yang tepat.

"As?" Attala memiringkan kepalanya menunggu Hana menyelesaikan kalimatnya.

"As... bakti saya terhadap Kak Attala di minggu terakhir saya di sini?" Hana sedikit menaikkan nada bicaranya di kata terakhir kalimatnya hingga terkesan dia meminta persetujuan atas apa yang baru saja ia ucapkan. Kekehan kecil juga keluar dari mulut Hana sebab dia merasa kalimatnya terlalu cringe. Hana bahkan sampai hampir bergidik.

Beda dengan Hana yang cengengesan, Attala justru dibuat kembali menekuk wajahnya karena Hana yang lagi-lagi mengungkit tentang minggu terakhirnya di Efharis. Attala merutuki dirinya sendiri atas apa yang dia rasakan saat ini. Bukannya dia sendiri yang meminta Hana untuk dibuatkan bekal selama minggu terakhirnya di sini? Tapi kenapa sekarang dia seolah tidak senang dengan fakta itu?

"Kak, kok ngelamun lagi, sih?"

Attala mengerjap begitu suara Hana terdengar lagi. Lelaki itu berdeham kemudian berdiri dari kursinya, "Oke, thank you buat bekalnya. Gue boleh makan, kan?"

Hana kembali terkekeh pelan, "Boleh lah, Kak. Malah justru harus dimakan karena Kak Attala sendiri yang minta saya buatkan itu."

Attala tersenyum dan mengangguk. Satu tangannya mengangkat kotak bekal dari atas meja lalu membawanya ke sofa. Attala berniat makan di sana.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang