14

212 24 1
                                    

Attala mematut dirinya di depan cermin setelah mandi. Merapikan rambutnya yang masih basah, memakai body lotion di tangan dan kakinya, mengaplikasikan day cream ke wajah tampannya, dan tidak lupa menyemprotkan parfum ke beberapa titik di tubuhnya. Attala memang termasuk laki-laki yang cukup concern terhadap kebersihan dan kesehatan kulitnya. Dia juga selalu wangi.

Rian masuk ke dalam kamarnya dengan wajah takjub dan sumringah melihat Attala di depan cermin. Dia duduk di pinggir kasur dengan mata masih terus memperhatikan kawannya yang semalam menginap di rumahnya itu.

Lewat pantulan cermin, Attala tahu kalau dia sedang diperhatikan oleh Rian. Masih dengan tangan yang sibuk merapikan rambutnya, Attala tidak tahan untuk bertanya, "Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu? Lo masih straight kan?"

"Hahaha, si kampret. Masih normal gue, njir. Takjub aja gue liat lo udah rapi banget jam segini. Beneran ready mengakhiri masa jomlo kayaknya ni."

"Beneran lah, udah jauh-jauh sampe sini."

"Kenapa nggak semalem aja sih lo tembak? Habis tanding kan lo anterin dia pulang."

"Capek banget gue, anjir. Lagian kan kita kalah semalem, jadi vibes-nya agak kurang pas buat nembak," Attala beranjak menuju meja belajar untuk mengecek barang bawaannya lalu memasukkan ke dalam tas punggungnya yang cukup besar.

"Iya, sayang banget, beda poinnya tipis. Lo padahal mainnya udah bagus banget, Ta."

"It's okay, dari awal kita ikut ini cuma buat iseng-iseng aja kan. Gue juga udah lama banget nggak latihan, jadi ya gue nggak berekspektasi banyak. Bisa sampe perempat final aja udah bagus banget menurut gue. But it was fun, tho. Thank you udah ngajakin gue, Yan. Lain kali kalo ada lagi, mau lah gue ikutan."

"Maksudnya, biar lo bisa ngapel sekalian? Hahaha," Rian tergelak. Urat tawa pria itu sepertinya agak longgar, karena dia mudah sekali tertawa.

Tawa Rian menular ke Attala, "Ngapel mah gampang. Jakarta-Bandung tu deket, brother."

"Mantaaap, hahahaha. Boleh lah mampir-mampir ke sini juga kalo lo ngapel."

"Pasti," Attala menepuk pelan lengan Rian dua kali. "Yaudah, gue jalan, ya. Sekalian langsung balik ke Jakarta gue."

Rian bangkit dari kasur, mengantar Attala ke depan, "Iya, ati-ati. Jangan lupa berkabar kalo udah jadian, hahahaha."

Senyum Attala mengembang lebar, menampilkan lesung pipinya, "Doain gue diterima."

"Seratus persen gue yakin lo diterima. Gue jamin."

"Jangan bikin gue berekspektasi, dong."

"Gue serius. Kalo sampe dia nolak lo, gue tunda skripsi gue setaun."

"Anjir, sadis amat."

"Karena gue tau dia juga suka sama lo."

"Hehe," Attala tersipu malu membuat telinganya merah. "Yaudah, gue jalan, ya. Salam buat bokap nyokap lo. Sorry, gara-gara gue di sini, lo jadi nggak ke gereja."

"Chill, bro. Bisa ntar sore kok. Yaudah, sana ati-ati. Salam buat Giska."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang