27

184 29 19
                                    

Sering terjadi, apa yang sudah diniatkan dan direncanakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dua bulan berlalu sejak kesepakatannya dengan Giska yang ingin memperbaiki hubungan mereka, pada kenyataannya hubungan mereka tidak mengalami perubahan yang signifikan. Di minggu-minggu awal, Giska memang tampak mampu memenuhi ekspektasi Attala, tapi selanjutnya Giska berangsur kembali menjadi normal.

Sejak itu, Attala memilih untuk tidak ambil pusing lagi dengan sikap-sikap Giska. Dia tetap menyayangi Giska tapi tidak mau mendebat dan juga tidak terlalu menghiraukan jika Giska sudah mengomel. Contohnya saat ini, Attala yang sedang fokus dengan layar komputer di depannya untuk memeriksa deretan skrip coding-nya, menempatkan ponsel miliknya tepat di samping keyboard, dengan suara Giska yang mengomel dari saluran seberang. Ponselnya yang diset mode loudspeaker, membuat suara Giska jadi terdengar memenuhi ruang kerja Attala.

"Atta, kamu dengerin aku nggak sih?!"

"Denger, kok," jawab Attala tanpa mengalihkan pandangannya ke ponsel. Tangannya masih sibuk menari di atas keyboard.

"Terus kenapa kamu diem aja dari tadi?!"

"Ya, kamu-nya ngomong terus, aku nggak dapet kesempatan nyela."

"Ya, kamu-nya ngerespons apa kek. Nggak diem aja kayak gitu. Aku jadi kayak ngomong sendiri."

"Aku kan udah bilang, aku lagi ngerjain coding. Aku harus fokus, nanti kalau ada yang salah, programku nggak jalan."

"Kok kamu malah jadi lebih mentingin coding kamu—"

"Giska, aku kerja. Kerjaanku salah satunya bikin coding. Kalau aku nggak mentingin kerjaan aku, terus programku gagal, aku dipecat. Siapa yang mau tanggung jawab?"

"Kamu sekarang sering banget bantah omongan aku!"

"Aku cuma ngelurusin apa yang seharusnya aja, Gis."

"..."

Attala mendongak ketika pintu ruangannya diketuk dan di detik berikutnya terlihat Heksa yang melongok dari balik sana. Attala mengangguk dan mengangkat satu tangannya dengan berucap 'bentar' tanpa suara. Heksa yang mengerti, kemudian membalas dengan anggukan paham dan menutup pintu kembali.

"Masih ada yang mau diomongin lagi nggak? Aku harus siap-siap buat meeting," ujar Attala lagi pada Giska yang sejak tadi masih diam.

"Habis meeting kamu langsung pulang kan?"

"Ya, mau ke mana lagi sih, Gis?"

"Ya, nggak tau. Kamu meeting-nya di mal. Siapa tau temen kamu iseng terus ngajak kamu ke mana-mana gitu."

"Bunda masih di rumah sakit, Gis, in case kamu lupa. Aku mau ke rumah sakit lagi nanti malem. Jadi nggak ada di rencanaku buat ke mana-mana setelah kerja. Kalau temenku mau lanjut ke mana ya itu terserah mereka."

"Kamu ke rumah sakit tiap hari apa kamu nggak capek, Ta? Inget kesehatan kamu juga."

"Iya," jawab Attala singkat. Dia tidak mau mendengarkan ceramah Giska lebih lama lagi. "Yaudah, aku siap-siap dulu, ya. Aku udah ditungguin."

"Yaudah."

Setelah mengucapkan salam, panggilan telepon mereka akhirnya berakhir. Attala bangkit dari kursinya dan mulai merapikan meja dan mengambil beberapa berkas yang sekiranya diperlukan dalam rapat nanti.

Menjelang sore begini, Mas Denni mengajak para staf-nya untuk rapat. Namun berbeda dari rapat yang biasanya, kali ini Mas Denni mengajak mereka rapat di mal. Dalihnya, supaya tidak monoton selalu berkutat di kantor terus, sekalian mencari udara segar.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang