Attala menggenggam erat ponselnya setelah membaca pesan dari teman-temannya di grup. Dia lupa sama sekali kalau besok ada janji untuk buka bersama seperti yang sudah biasa mereka lakukan setiap tahunnya. Lelaki yang masih duduk terdiam di kursi kerjanya itu sesekali mengusap kasar wajahnya memikirkan tentang acara tersebut.
Bukan karena dia punya janji lain yang menyebabkan dia tidak bisa datang, melainkan karena ada faktor lain yang membuatnya ragu-ragu untuk datang.
Dia mendongakkan kepala sambil menggigit bibirnya, sebuah kebiasaan dari seorang Attala Ibrahim jika sedang dilanda kegundahan yang teramat sangat. Ponsel yang masih berada di dalam genggamannya sesekali diketuk-ketukkan di atas meja. Otaknya masih berputar untuk mencari jalan keluar yang tepat dan tidak menyakiti siapapun.
Attala menghela napas kasar yang diikuti geraman cukup kencang. Sekali lagi, dia mengacak-acak rambutnya kemudian menatap ponsel di tangannya. Dia menyalakan benda tersebut lalu kembali membuka aplikasi pesan, mencari sebuah nama, dan mengetikkan sesuatu di sana.
Kakinya yang terus bergerak menandakan jika Attala sedang gugup tidak karuan. Lagi-lagi dia menggigit bibirnya, tak sabar menunggu balasan yang datang.
Suara notifikasi yang terdengar tak lama kemudian itu membuat Attala bergegas menyalakan ponselnya lagi untuk membaca isi pesannya dan mengirim balasan lagi.
Attala menjatuhkan kepalanya ke atas meja begitu dia selesai bertukar pesan hingga beberapa kali. Dadanya sesak sekali. Matanya menghangat, ingin sekali rasanya dia menangis tapi air matanya tak mau turun. Beberapa kali ia menghela napas berat, berusaha untuk melegakan sesak di dadanya tapi nihil.
"Maafin gue, Ta. Maafin gue," racau Attala masih dengan kepala tenggelam dalam lipatan tangannya di atas meja.
***
Attala melirik arloji di tangan kirinya setelah dia menyelesaikan meeting dengan beberapa rekan kantornya.
Pukul 15.23.
Lelaki itu menoleh ke arah jendela dan mendapati langit yang agak gelap. Seharian ini memang cuaca cukup bersahabat bagi orang-orang yang menjalani puasa karena matahari tertutup awan tebal sepanjang hari tapi tidak hujan.
Langit yang tidak terik, membuat suhu udara agak lebih rendah dari biasanya, ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang terus menyapa siapa saja yang berada di luar ruangan. Jika saja Attala tidak harus bekerja, sudah bisa dipastikan dia akan seharian berada di kamar, bergelung selimut sambil menonton serial di Netflix menunggu sampai adzan Magrib tiba.
Ponsel Attala berdering tepat saat dia masuk ke dalam ruangannya. Setelah menggeser tombol hijau, dia menjepit ponsel tersebut di antara kepala dan pundaknya, "Halo, Assalamualaikum, Gis."
"Waalaikumussalam, Ta. Udah selesai meeting-nya?"
"Udah, baru aja selesai."
"Oh, kamu lagi apa sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.