Terhitung sudah empat hari sejak Areta pergi ke Puncak dengan Attala, dan selama itu pula Areta seakan kehilangan jejak Bhumi. Kekasihnya itu menjadi makin susah dihubungi. Setiap kali Areta menelepon, Bhumi tidak pernah menjawabnya. Pesan-pesan yang dikirim Areta pun direspons sangat lambat, itu pun hanya dijawab singkat dan seperlunya. Bahkan tak jarang pesan Areta dibiarkan terbaca tanpa dibalas.
Sehari, dua hari, Areta masih berusaha memahami kesibukan Bhumi. Namun memasuki hari ketiga lalu hari keempat, Areta mulai merasa jengkel tapi juga khawatir di waktu yang bersamaan. Di satu sisi dia jengkel karena sesibuk apa kekasihnya itu di Makassar sebenarnya hingga tidak sempat mengabarinya sama sekali, bahkan hanya untuk sekadar mengirim pesan pun tidak bisa pria itu lakukan. Namun di sisi lain, dia juga khawatir dengan Bhumi yang terlalu sibuk biasanya tidak mempedulikan kebutuhan makan dan istirahatnya. Bagaimana kalau ternyata dia sakit di sana?
Otak Areta yang hanya berisi tentang Bhumi membuatnya susah berkonsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan tidak jarang dia melakukan kesalahan. Sasa lumayan sering menegur akibat kelalaiannya itu.
Yang jelas, Areta juga jadi lebih sering uring-uringan dan tidak dapat mengontrol emosinya jika sedang berhadapan dengan orang lain. Oleh karena itu, Sasa memerintahkan Areta untuk tidak bertemu dengan klien sementara waktu, sebab pemimpin Kiwari itu tidak mau Areta mengacau.
"Na, dicariin tu."
Areta yang matanya menyorot lurus ke layar monitor namun otaknya kosong itu pun mendongak ketika terdengar suara Sasa yang berbicara padanya. Pimpinannya itu baru saja datang dari rapat dengan vendor dan kini sedang berjalan menuju ruangannya.
"Siapa, Mbak?" tanya Areta.
"Liat aja sendiri," Sasa mengedikan dagunya sekejap ke arah pintu kemudian melangkah pergi meninggalkan Areta yang masih kebingungan. Pasalnya Areta tidak merasa punya janji bertemu dengan siapa-siapa hari ini.
Areta menoleh pada arah pintu untuk mencari tahu siapa yang mencarinya, namun dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia mengecek ponselnya, siapa tahu ada pesan masuk dari seseorang yang akan datang untuk bertemu dengannya di kantor tapi Areta tidak mengetahuinya atau melupakannya karena konsentrasinya terlalu kacau akhir-akhir ini. Namun, tetap saja nihil. Tidak ada pesan apapun terkait hal itu.
Penasaran, Areta akhirnya memutuskan untuk beranjak dari kursinya dan pergi keluar. Langkah Areta refleks terhenti ketika gadis itu menemukan seseorang yang sedang duduk di salah satu sofa yang ada di ruang depan. Salah seorang rekannya Sashi, yang merupakan seorang front officer Kiwari tampak sedang mengajak tamunya itu mengobrol, entah membicarakan apa.
Tidak lama kemudian, mata Areta dan tamunya itu akhirnya bertemu. Sang tamu melempar senyum pada Areta. Sashi yang melihat pria di hadapannya tiba-tiba tersenyum, menoleh dan turut tersenyum begitu melihat Areta. Sashi memutuskan untuk undur diri karena merasa yang berkepentingan sudah datang.
Sang tamu bangkit dari sofa kemudian menghampiri Areta yang masih mematung di tempat sampai sekarang. Lelaki berbalut kaus putih itu itu menjentikkan jari di depan wajah Areta, "Earth to Naraya!"
Seakan benar-benar terkena mantra, Areta mengerjap dan kembali pada kesadarannya lalu mendongak menatap lelaki tinggi di hadapannya.
"Ngapain ke sini?" tanya Areta datar.
Pria itu terkekeh menanggapi pertanyaan Areta, "Nggak boleh? Aku pulang aja berarti?"
Areta tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya. Dia masih setia menatap lekat-lekat pria di depannya.
"Sayang?"
Ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba, lelaki yang sudah empat hari ini terlalu mendominasi otaknya sudah berada di hadapannya. Tapi entah mengapa, Areta merasa tidak bisa excited melihat kehadiran kekasihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.