29

182 30 14
                                    

"Attala, lo ngapain lagi sih??"

Suara bentakan dari seseorang membuat Areta dan Attala kompak mendongak untuk melihat siapa yang datang. Keduanya masih diam ketika orang tersebut menarik kursi di depan mereka dan duduk di atasnya.

"Gue tanya lo ngapain lagi sampe bikin Eta nangis kayak gitu?"

Attala menoleh sejenak pada Areta yang matanya sembab dan merah akibat menangis dalam waktu yang cukup lama. Setelahnya, Attala kembali memusatkan perhatiannya lagi pada seseorang di depannya yang kini sudah melipat kedua tangannya di depan dada. "Ky, bisa tenang dulu nggak? Gue nggak ngapa-ngapain Eta, gue cuma—"

"Gimana nggak ngapa-ngapain? Jelas-jelas mata Eta bengkak gitu," Zaky memotong kalimat Attala dengan nada bicara yang kelewat sewot.

"Zaky, udah, lo nggak usah marah-marah. Atta beneran nggak ngapa-ngapain. Gue cuma ngelampiasin apa yang gue rasain aja selama ini," Areta berusaha menenangkan satu sahabatnya lagi yang memang tadi telah berjanji akan menyusulnya.

Bahu Zaky menurun mendengar penjelasan Areta. Dia kembali menatap Attala dengan tajam. Dia menghela napas sebelum berujar, "Ngapain lo ngajak Eta ketemuan? Mau nyakitin dia lagi?"

"Ya Allah, nggak, Zaky. Gue mau minta maaf sama Eta."

"Sama Eta doang? Sama gue sama Isha nggak?"

"Terserah lo mau percaya atau nggak, tapi gue emang udah berencana buat datengin lo sama Isha juga setelah masalah gue sama Eta clear. Sumber masalahnya selama ini ada di gue sama Eta, jadi gue ngerasa perlu nyeleseiin semuanya dulu sama Eta."

"Sumber masalahnya tu lo sama cewek lo."

"Iya, lo bener. Emang gue sama Giska yang salah."

"Bukan," Areta menginterupsi perdebatan Attala dan Zaky. "Di sini nggak ada yang salah atau bener. Gue, Atta, Giska cuma mempertahankan apa yang menurut kita bertiga bener. Selama ini kita bertiga cuma bersikap defensif."

"Tapi, Ta, kalau bukan karena mereka berdua, lo nggak bakal kayak gini," Zaky kemudian beralih pada Attala. "Gue jujur aja penasaran sama apa yang sebenernya terjadi sama lo berdua. Tapi gue nggak mau maksa lo berdua buat cerita kalau memang lo berdua ngerasa gue nggak perlu tau. Cuma yang gue nggak bisa terima, kenapa lo harus kayak gini ke Eta sih, Ta? Lo boleh jadi brengsek. Lo boleh nggak main lagi sama gue atau Isha. Tapi jangan ke Eta. Udah berapa kali gue bilang ke lo, hm? Lo orang yang paling dia percaya, bahkan ngelebihin percayanya dia ke gue atau Isha, bahkan ke Mas Bhumi. Tapi lo justru ninggalin dia demi cewek lo—"

"Zaky, udaaahh," Areta memohon pada Zaky untuk berhenti menyudutkan Attala.

"Nggak, Ta, gue belum selesai," Zaky masih menatap tajam Attala yang kini sedang bingung. Dia tahu dia salah. Dia ingin mendengarkan semua makian Zaky yang memang pantas dia dapatkan. Tapi di sisi lain, dia juga ingin menenangkan Areta yang sekarang sudah menangis lagi.

"Atta, lo kenapa sih sebenernya?" intonasi Zaky kini menurun. "Gue sedih kita jadi kayak gini. Gue sedih Eta harus struggles lagi sama issue-nya. Dan itu nggak cuma sekali. Gue baru tau kalau Eta diserang depresi lagi waktu gue dateng ke rumah dia pasca dia keluar rumah sakit. Eta jelas-jelas nolak ketemu gue. Dia bilang dia takut ketemu gue. Padahal gue cuma mau liat keadaan dia setelah keluar dari rumah sakit. Tapi dia nggak mau ketemu gue. Nyokapnya cerita kalau Eta juga nggak mau keluar kamar. Lo tau, Ta? Nyokapnya Eta bahkan sampe nyingkirin barang-barang yang berpotensi bikin Eta—"

Zaky tidak sanggup meneruskan kalimatnya karena tenggorokannya tersekat. Ada isak yang sedari tadi ia tahan supaya tidak keluar. Kejadian beberapa bulan lalu ketika Areta ditemukan pingsan di kamarnya benar-benar membuat Zaky takut Areta nekat melakukan self-harm.

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang