"Maaa, ayo, cepet! Udah ditunggu Attala. Maaa!" Bhumi berteriak sambil kembali memasuki rumahnya, mencari keberadaan Areta, sang istri. Mendengar suara kucuran air dari wastafel dapur, pria tersebut melangkahkan kakinya semakin cepat ke sumber suara.
"Sayang, kamu lagi apa?" tanya Bhumi penasaran begitu melihat istrinya seperti sedang mencuci mulutnya di wastafel.
Areta menegakkan berdirinya, kemudian berputar menghadap Bhumi. Wanita itu menatap Bhumi dengan sorot mata tajam, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hal itu jelas saja membuat Bhumi bingung.
"Kenapa?" tanya Bhumi panik.
"Aku udah bilang, kan, kalau kamu mesti hati-hati pas kita main!"
Bhumi memiringkan kepalanya sambil mengernyitkan dahi. "Main? Main apa?"
Areta memukul dada suaminya untuk meluapkan kekesalannya. "IIH!! AKU HAMIL!"
"Hah?" Bhumi melongo mendengar kata-kata Areta.
"Aku hamil, Mas!" rengek Areta hampir menangis.
Sementara Bhumi justru tersenyum, kemudian melepaskan tawanya seraya menarik Areta untuk dipeluk. "Alhamdulillah!"
"Mas! Kok, malah ketawa!"
"Terus aku mesti sedih?" Bhumi menunduk guna melihat sang istri yang wajahnya masih cemberut. "Aku juga udah bilang, kan, kalau aku mau kasih adik buat Sashi."
"Tapi, Sashi aja belum genap tiga tahun, Mas."
"Nggak apa-apa, biar nanti gedenya bareng."
"Tapi, nanti kamu kerepotan kayak pas aku hamil Sashi dulu. Kamu jadi sering ambil cuti gara-gara aku."
"Sayang, look." Bhumi melepas pelukannya, kemudian mensejajarkan badannya dengan kedua tangan yang memegangi bahu Areta. "Aku nggak masalah direpotin sama kamu. Kamu itu istri aku. Yang kamu kandung juga anak aku. Kalian tanggung jawab aku. Jadi, jangan pernah takut ngerepotin aku. Justru, aku bakal marah kalau kamu nggak bikin aku repot karena aku pasti bakal ngerasa aku nggak berguna buat kamu. Ngerti?"
Areta menatap sorot mata teduh sang suami, lalu mengangguk menuruti kata-kata Bhumi. Entah harus dengan cara apa lagi Areta harus bersyukur mendapatkan suami sebaik dan sesabar Bhumi. Empat tahun berpacaran dan kini sudah memasuki usia pernikahan yang juga hampir empat tahun, sama sekali tidak mengubah pribadi Bhumi. Yang ada, lelaki itu justru semakin sempurna di mata Areta.
Satu hal yang sangat disyukuri Areta hingga saat ini adalah Bhumi yang mau kembali padanya. Serta, dirinya yang tidak ragu-ragu untuk menerima pinangan Bhumi empat tahun lalu. Jika saja dia mengedepankan ego dan gengsinya saat itu, mungkin dia akan menyesal seumur hidup.
"Yaudah, yuk, berangkat. Kasihan Sashi nungguin dari tadi." Suara Bhumi memecah lamunan Areta. Tangannya pun sudah digandeng sang suami, menariknya pelan keluar rumah.
"Di mana anaknya?"
"Di dalem mobil."
"Hah? Dari tadi dia di mobil sendirian?" Areta panik mengetahui putri sulungnya ditinggal di dalam mobil sendirian sejak tadi. Wanita itu menarik tangan yang digenggam Bhumi, bermaksud membuat suaminya itu berhenti.
Berhasil, Bhumi menghentikan langkahnya, lantas menghadap ke sang istri. "Nggak apa-apa. Anaknya anteng, kok, mainan sama bonekanya. Lagian udah aku pasangin seatbelt, jadi dia nggak bisa ke mana-mana."
"Tapi, kalau dia nangis gimana? Kamu, ih!" Areta melepaskan tangan Bhumi, lalu berjalan cepat menuju mobil mereka yang ada di garasi untuk segera menemui sang putri. Areta sama sekali tidak tenang sebelum melihat anaknya baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.