Perjalanan menuju Puncak di akhir pekan memang selalu menjadi mimpi buruk bagi yang menjalaninya. Begitu pula dengan empat bujang ganteng yang saat ini sedang menikmati kemacetan dengan makan cemilan yang dibawakan Isha tadi pagi.
Sudah setengah jam lebih mereka berhenti di tempat yang sama, namun sepertinya belum ada tanda-tanda akan lancar kembali. Entah sudah berapa kali mereka mengumpati keadaan, tapi ya keadaan tidak akan berubah juga kalau mereka ngamuk-ngamuk, yang ada malah mereka makin pening dan panas. Oleh karena itu, mereka memilih untuk membuka beberapa bungkus cemilan untuk dimakan. Siapa tahu menyibukkan diri dengan cemilan bisa meredakan emosi mereka.
Ketika kemacetan mulai terurai, Zaky yang sudah mengambil alih kemudi pun mulai menjalankan mobilnya ke arah vila milik ayah Attala. Tiga jam lebih yang mereka habiskan di jalan terbayar lunas ketika mereka akhirnya sampai di vila. Udara sejuk dan vila bergaya mediterania membuat lelah mereka hilang dalam sekejap.
Keempat pria tampan itu bergegas masuk ke dalam vila begitu Zaky selesai memarkirkan mobilnya di halaman vila. Attala memimpin dengan berjalan paling depan. Tiga langkah di belakangnya ada Gian dan Bhumi, sementara Zaky berada di barisan paling belakang setelah memastikan pintu mobil terkunci. Mereka hanya membawa tas ransel mereka masing-masing. Barang bawaan yang lain akan diturunkan nanti jika hendak digunakan supaya tidak terlalu makan tempat.
Zaky mengedarkan pandangannya ke sekeliling vila sambil mengoceh, "Ini beneran vila yang pernah lo ajak gue dulu itu, Ta?"
"Iye lah, yang mana lagi? Bokap gue nggak setajir itu sampai bisa beli vila lebih dari satu kali."
"Ya kan siapa tahu. Soalnya beda banget sama yang dulu."
"Oh, emang sempet direnov dikit-dikit."
"Ini sih nggak dikit, Ta, tapi rombak total."
"Den Atta?"
Suara seorang pria paruh baya mampu mengalihkan perhatian keempat bujang yang sedang sibuk menikmati desain vila yang akan menjadi tempat menginap mereka malam ini.
"Pak Dadang?" seru Atta begitu mendapati pria paruh baya tersebut sudah berada di ruang tamu, tempat Attala dan teman-temannya berdiri.
"Kok baru nyampe, Den? Macet, ya?"
"Iya, parah, Pak. Gimana kabarnya, Pak?"
"Sae, Den. Den Atta sehat juga kan?"
"Alhamdulillah, sehat juga, Pak. Oh iya, kenalin ini Pak, ini temen-temenku," Attala memperkenalkan Zaky, Bhumi, dan Gian pada Pak Dadang, Begitupun sebaliknya.
"Saya Zaky, Pak. Masih inget nggak? Dulu saya pernah ke sini, sekali doang sih, tapi saya pernah mecahin piring dulu, hehe," Zaky menjulurkan tangannya untuk menjabat tangan Pak Dadang sambil mengingat kejadian yang pernah terjadi padanya dulu di vila ini.
Pak Dadang mengerutkan dahinya berusaha untuk mengingat-ingat, sampai akhirnya dia tersadar lalu akhirnya ber-oh panjang, "Ooh, iya, iya, inget sekarang. Adiknya Teh Dira, kan?"
Raut muka Zaky berubah menjadi dingin seketika, namun dia tetap berusaha tersenyum walaupun semuanya tahu bahwa Zaky memaksakan senyumnya, "Iya, Pak, betul. Saya adiknya Mbak Dira."
"Wah, sayang ya dulu Teh--"
"Ayo, Pak, tunjukin kamar kita," Attala merangkul Pak Dadang lalu membawa pria itu menjauh dari Zaky. Dia tahu jika sahabatnya itu sedang menahan emosinya ketika nama Dira keluar dari mulut Pak Dadang.
"Saya cuma siapin dua kamar kayak yang Den Atta bilang lho ya," Attala mengangguk dan tersenyum menunjukkan lesung pipinya. "Beneran nggak mau buka empat kamar aja, Den? Biar tidurnya enak sendiri-sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.