32

170 26 7
                                    

Attala melirik arloji di tangannya dan waktu sudah menunjukkan pukul 11.58. Dia melepas kacamata dan mulai merapikan berkas-berkas di hadapannya lalu menutup semua tab di komputernya ketika Hana datang dan —seperti biasa— menyerahkan kotak bekal kepadanya.

Attala menoleh dan terdiam sejenak sambil memperhatikan kotak bekal yang sudah ada di atas mejanya. Lelaki itu mendongak dan tersenyum, "Thank you, Han."

"Sama-sama, Kak," balas Hana dengan senyum manis yang khas.

"Tapi, Han, mulai besok lo nggak perlu bikinin gue bekal lagi, ya."

Kalimat Attala jelas membuat Hana terkejut. Salah apa lagi dirinya hingga Attala berkata seperti itu? Apa gara-gara ucapannya beberapa hari lalu setelah acara launching? "Ke— kenapa, Kak? Masakan saya selama ini nggak enak, ya?"

Attala menggeleng cepat, "Bukan, bukan itu. Masakan lo enak banget. Beneran, gue nggak bohong. Cuma gue rasa lo udah nggak perlu masakin gue lagi. Launching kan udah beres ni, terus kerjaan gue juga udah nggak sebanyak beberapa bulan lalu. Jadi gue udah ada waktu buat cari makan keluar atau bikin sesuatu sendiri di pantry."

Hana masih terdiam, tidak tahu hendak menanggapi seperti apa.

"So, mulai besok lo nggak usah masak buat gue. Lo cukup masak buat lo sendiri aja," sambung Attala lagi dengan menunjukkan senyum berlesung pipinya.

"Kan sekalian, Kak, saya masaknya. Saya sama sekali nggak keberatan buat bikinin bekal Kak Attala," Hana masih mencoba membantah.

Attala menggaruk dahinya yang tidak gatal, "Oke, lo emang masaknya sekalian, tapi—"

"Apa Kak Attala kayak gini karena aku yang suka sama Kak Attala?"

Attala menatap lurus mata mahasiswa magang di depannya itu. Sejak kejadian di mobil tempo hari, Hana menjadi lebih frontal. Attala juga menyadari setiap kali mereka berbicara tentang masalah pribadi atau lebih tepatnya tentang perasaan Hana pada Attala, Hana akan mengubah kata ganti untuk dirinya menjadi aku, namun jika sedang dalam keadaan biasa Hana akan kembali menggunakan kata saya.

Attala menghela napas pelan, "Han, ini nggak ada hubungannya sama itu."

"Terus kenapa Kak Attala jadi kayak gini? Perasaan kemarin masih baik-baik aja. Kak Attala masih mau makan bekal yang aku bawa."

"Ya, karena lo udah bawa, jadi ya gue makan. Hari ini sebenernya gue juga udah punya rencana mau makan di luar, tapi karena gue lupa bilang sama lo tentang ini dari kemarin-kemarin, dan kotak ini udah ada di depan gue sekarang, jadi hari ini gue bakal tetep makan bekal dari lo. Tapi yang mau gue omongin sekarang, mulai besok lo nggak perlu repot-repot lagi masakin gue."

"Aku udah bilang aku nggak repot."

"Tapi gue juga pengin makan di luar!" Attala tanpa sadar menaikkan nada bicaranya yang membuat Hana tersentak. "Sorry, I didn't mean it."

Hana masih bergeming, shock dengan Attala yang agak membentak tadi.

Attala menipiskan bibirnya sebelum melanjutkan dengan nada yang jauh lebih rendah, "Selama beberapa bulan terakhir gue sibuk banget sampe sering skip lunch. Sejak ada lo, lunch gue jadi terjamin karena lo selalu bekelin gue. Thanks for that, you're really my savior. Tapi sekarang kan gue udah nggak sibuk. Gue pengin makan di luar bareng anak-anak Efharis kayak dulu lagi. Janjian lunch bareng temen-temen SMA gue, atau at least nongkrong di pantry sambil makan mie instan."

"..."

"Lagipula, apa lo nggak kepengin sesekali makan di luar? Cari suasana baru. Nggak di kantor melulu dari pagi sampe sore. Sesekali boleh kok, kalau lo mau makan keluar bareng Tere kek, atau sama yang lainnya. Gue nggak bakal larang. Nanti gue bilang sama Tere buat ngajak lo kalau mau makan siang."

Best (boy)Friend √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang