Areta menghela napas panjang usai berkirim pesan dengan Bhumi. Sudah berminggu-minggu ayahnya sakit, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda membaik sedikit pun. Areta makin khawatir dengan keadaan ayah Bhumi itu, tentunya dia juga mengkhawatirkan kesehatan Bhumi dan ibunya juga.
Bhumi merupakan anak tunggal, jadi hanya dia satu-satunya yang bisa diandalkan ibunya untuk membantu mengurus segala keperluan ayahnya. Itu sebabnya, hampir setiap akhir pekan Bhumi pulang ke Semarang. Tak jarang pula, sebelum Jumat dia sudah berada di Semarang, mengingat status pekerjaannya yang hanya sebagai freelancer.
Melihat Sasa berjalan melewati ruangannya, Areta segera berdiri dan menghampiri bos-nya itu. "Mbak Sasa!"
Sasa menghentikan langkahnya dan memutar kepalanya ke belakang untuk mencari tahu siapa yang sudah memanggilnya tadi, "Eh iya, kenapa, Na?"
"Mbak, gue mau ngomong soal Mas Bhumi. Ada waktu nggak?"
"Lama nggak? Gue lagi ditunggu suami gue soalnya."
"Oh gitu, mau ada urusan penting ya sama Mas Dani?"
"Nggak juga sih, cuma mau lunch bareng aja."
"Oh kalo gitu gue ngomong bentar boleh ya, Mbak?"
"Okay, go on. What happened?"
"Gini, gue sebenernya nggak enak sih sama lo, Mbak. Mas Bhumi kan baru kerja di sini, tapi udah sering cuti."
"Oh nggak masalah kok, Na. Kan bokapnya lagi sakit."
Sejak mengetahui bahwa dirinya dan Bhumi memiliki umur yang sama --dua tahun lebih tua dari Areta--, Sasa meminta Bhumi untuk tidak memanggilnya dengan embel-embel 'mbak', begitupun dirinya yang tidak akan memanggil Bhumi dengan awalan 'mas'.
"Gue nggak mau jadi orang egois dengan maksain Bhumi buat tetep ngantor sementara bokapnya lagi kritis. Gue nggak mau dibales dengan hal yang sama kelak. Keluarga gue sakit tapi gue dihalang-halangin buat ngerawat. Ya walopun amit-amit, jangan sampe keluarga gue ada yang sampe sakit parah. Lagian, status Bhumi kan freelance di sini. Sebenernya nggak ada kewajiban dia buat dateng tiap hari kok. Yang penting kerjaannya beres, kalo ada brief dari klien juga dia harus siap," lanjut Sasa.
"Nah itu yang mau gue omongin, Mbak," Areta jadi bersemangat mendengar pernyataan Sasa yang rupanya sesuai dengan apa yang ingin dia sampaikan. "Boleh nggak kalau sementara Mas Bhumi ngantornya dari Semarang aja? Minimal sampe papanya agak baikan, Mbak. Jujur gue kasihan liat dia harus bolak-balik Jakarta-Semarang tiap weekend. Gue takutnya dia ikutan sakit."
"Aduuhhhh, yang khawatir sama cowoknyaaa~ Manis banget sih, Na. Udah buruan lo berdua married aja lah. Biar makin uwu."
"Mbak, ih! Gue lagi serius ini," pipi Areta merona merah karena godaan yang dilontarkan oleh Sasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (boy)Friend √ [Completed]
Fanfiction"They say, boys and girls can't be bestfriends. Is it true? What if we could be one?" ---------------------- This work may contain harsh words and mature content. Be wise.