PROLOG

676 33 2
                                    

Penata rias sedang memulas wajah cantik seorang wanita berkulit putih, yang malam itu harus tampil dengan sempurna. Kedua alisnya yang simetris, bulu matanya yang lentik, dan juga hidungnya yang mancung, menambah kecantikan alami dari wajah wanita tersebut.

"Ini riasannya yang natural saja ya, Bu Ghista? Wajah Bu Ghista sudah terlihat sangat cantik, jadi tidak perlu riasan yang terlalu tebal," saran si penata rias.

Ghista pun tersenyum.

"Terserah Mbak Naya saja. Aku akan ikut dengan riasan manapun yang Mbak Naya berikan," ujar Ghista.

Ranti--Ibu kandung Ghista--terkikik geli di samping putrinya.

"Ghista itu enggak perlu dikasih saran, Mbak Naya. Dia itu anaknya selalu penurut, mau dimake-up bagaimanapun, dia tidak akan protes," ujar Ranti.

"Wah, kalau begitu enak ya Bu. Punya Putri yang cantik dan penurut seperti Bu Ghista ini, pasti membuat hidup Bu Ranti jauh lebih mudah," ujar Naya.

"Alhamdulillah, Mbak Naya. Seperti itulah hidup saya selama ini. Selalu diberi kemudahan, karena memiliki seorang Putri yang sangat pengertian," balas Ranti.

Seorang pegawai butik yang dipanggil oleh Ghista, membuka pintu kamar sebelah yang dijadikan sebagai tempat berganti pakaian.

"Nyonya Ranti, gaun untuk anda sudah siap," ujar pegawai tersebut.

Ranti pun menoleh ke arah Ghista kembali.

"Nak, Ibu ganti baju dulu ya," pamitnya, agar Ghista tak mencari-cari saat membuka matanya nanti.

"Iya, Bu," jawab Ghista.

Ranti pun bergegas masuk ke kamar sebelah untuk memakai gaunnya. Penata rias sedang melukis shading di wajah Ghista, agar wajah itu semakin terlihat mempesona.

"Sabar ya, Bu Ghista. Sebentar lagi akan selesai kok," ujar Naya.

"Tidak apa-apa, Mbak Naya. Acaranya juga belum akan dimulai kok. Masih lama," sahut Ghista, santai.

"Tapi 'kan, Bu Ghista pasti ingin makan malam terlebih dahulu bersama Bu Ranti. Makanya saya mengerjakan make-up ini agak cepat dari biasanya. Maaf, tadi saya terlambat karena mobil sempat di bawa karyawan yang pergi membeli makanan."

"Jangan dimarahi karyawannya, Mbak Naya. Membeli makanan adalah hal yang wajar, terlebih karena Mbak Naya tidak menyediakan makanan di tempat kerja. Maklumi saja. Karena kalau mereka terlambat makan lalu jatuh sakit, maka Mbak Naya sendiri yang akan kesulitan karena kekurangan tenaga di tempat kerja," saran Ghista.

"Iya, Bu Ghista. Saya akan selalu mendengar saran yang Bu Ghista berikan. Insya Allah," tanggap Naya, seraya tersenyum manis.

Pintu kamar itu terbuka tak lama kemudian. Sosok Vika--sekretaris Ghista-- pun muncul di ambang pintu. Ghista yang masih dimake-up oleh penata rias, menatapnya melalui pantulan cermin. Ia tersenyum seperti biasa untuk menyambut Vika.

"Masuk saja, Vi. Sebentar lagi saya akan selesai, kok," ujar Ghista.

Vika pun masuk ke dalam kamar itu, dan berdiri tepat di samping Ghista.

"Wah, make-up yang sangat bagus, Bu Ghista. Terlihat sangat natural dan cocok untuk anda," puji Vika.

"Berikan pujiannya pada Mbak Naya ya, Vi. Karena dialah yang menggoreskan keahliannya pada wajah saya, bukan saya sendiri," pinta Ghista.

Vika pun akhirnya tertawa pelan, lalu menatap ke arah Naya.

"Luar biasa, Mbak Naya. Kinerja keahlian anda sangat luar biasa. Saya sampai lupa dengan wajah asli Bu Ghista," ucap Vika.

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang