Dada Ranti bergetar hebat, saat netranya bertemu pandang dengan netra teduh milik Dika yang sudah berdiri di ambang pintu toko. Kedua lututnya mendadak lemas, sehingga membuat Ghista harus menopang berat tubuh Ibunya. Indra, Ajeng, dan Dimas yang mengantar Dika untuk menemui Ranti hari itu, tak kuasa menahan rasa haru mereka. Terlebih setelah mereka mendengar ungkapan hati Ghista tentang apa yang akan diberikannya pada Ranti, melalui kehadiran Dika.
Ranti menoleh menatap wajah putrinya, yang begitu berseri-seri dengan senyumannya yang indah. Ghista mengecup pipi kiri Ibunya sekali lagi dengan penuh kasih sayang, untuk meyakinkan Ranti bahwa Dika yang tengah dilihatnya bukanlah mimpi belaka.
"Itu kadonya, Bu. Aku membawakan cinta pertama Ibu, agar hidup Ibu menjadi lengkap dengan kehadirannya," ujar Ghista.
Ranti pun tak mampu menahan airmatanya lagi sekarang. Pertahanannya runtuh setelah mendengar semua ungkapan manis dari bibir putrinya yang sudah banyak berkorban untuk hidup mereka selama ini. Dika berjalan mendekat dengan kedua mata berkaca-kaca dan menatap Ranti dengan penuh cinta, sama seperti saat pertama kali mereka saling mengenal.
"Ranti," sapa Dika, dengan suara yang bergetar hebat.
"Mas Dika, maafkan aku Mas," ungkap Ranti, untuk pertama kalinya sejak mereka tak lagi bertemu.
Dika pun segera membawa Ranti ke dalam pelukannya seperti dulu. Membiarkan wanita yang dicintainya menangis sepuas hati. Ghista pun segera meninggalkan mereka berdua, dan berjalan menuju ke arah Ajeng yang telah merentangkan kedua tangannya. Ghista menjatuhkan diri ke dalam pelukan Ajeng dan menangis tanpa suara di sana.
"Sudah Sayang, Cah Ayu. Kamu sudah melakukan sesuatu yang begitu berarti untuk Ibumu, jadi jangan menangis lagi. Seperti yang kamu bilang tadi, bahwa tidak akan ada lagi yang namanya penderitaan di dalam hidup Ibumu setelah kamu mempersatukan dia dengan orang yang benar-benar mencintainya," ujar Ajeng, sambil menghapus airmata di wajah Ghista.
"Iya Tante, aku tahu. Hanya saja, aku menyesal karena tidak tahu lebih awal tentang perasaan Ibu pada Pak Dika. Seandainnya aku tahu sejak dulu, maka aku akan lebih cepat mempertemukan mereka. Bukan baru sekarang," ungkap Ghista.
Dimas ikut membelai rambut panjang Ghista dengan lembut.
"Ghista ... kita ini hanya manusia biasa, Nak. Ada waktu-waktu tertentu, di mana Allah memang sudah menakdirkan harus terjadi demikian. Jika Allah belum menakdirkan, maka tentu Ibumu tetap tidak akan bisa bertemu lagi dengan Pak Dika. Tapi karena Allah sudah menakdirkan, makanya Ibumu bisa bertemu lagi dengan Pak Dika. Dan hal itu terjadi, melalui dirimu yang begitu gigih dan pantang menyerah," jelas Dimas, memberi Ghista pengertian.
Indra pun tersenyum, lalu mencubit pipi Ghista dengan gemas. Ghista meringis kesakitan, namun Indra tak peduli dan hanya meletakkan sebuah bola kristal ke tangan wanita itu. Hal itu tentu membuat Ghista terpana selama beberapa saat.
"Aku tahu Ta, kalau ada hal yang mungkin tidak bisa diperbaiki setelah rusak. Tapi meskipun aku tahu tentang hal itu, aku tetap mengupayakan agar yang rusak itu bisa kembali lagi menjadi lebih baik. Maaf karena aku pernah memecahkan bola kristal milikmu hanya karena aku merasa iri. Aku harap, bola kristal yang kubuat ulang ini, mampu menggantikan bola kristal yang dulu kupecahkan. Si tuan putri masih aman di tempatnya, dan sepertinya dia betah berada di tengah-tengah salju yang kubuat," ujar Indra, dengan wajah yang memerah karena menahan malu.
Ghista pun segera membolak-balik bola kristal itu seperti dulu, agar salju yang ada di sekeliling si tuan putri berhamburan dengan indah.
"Terima kasih, Kak Indra. Tapi sepertinya, masih ada yang kurang dari bola kristal ini," ujar Ghista.
"Oh, ya? Apa yang kurang?" tanya Indra, dengan ekspresi terkejut.
"Di bawah kaki si tuan putri tidak ada papan ucapan seperti dulu, saat Almarhum Kakek Wahyu memberikannya padaku," jawab Ghista, agak kecewa.
"Hah? Ada papan ucapannya juga, ya? Isi ucapannya apa?" Indra ingin tahu, untuk kembali memperbaiki bola kristal itu.
"Isinya, 'Dari Indra, untuk tuan putri cantik bernama Ghista.'," jawab Ghista, dan kali itu disertai dengan penyerahan kembali bola kristal tersebut ke tangan Indra.
"Eh? Serius? Memang benar-benar ada ucapan seperti itu di bawah kaki si tuan putri? Ta ... jawab dong," tuntut Indra, sambil mengekori langkah Ghista menuju ke arah bagian belakang toko.
Ajeng dan Dimas hanya bisa menertawai tingkah putra mereka yang saat itu terlihat sangat kampungan.
"Aduh, tahun dua ribu dua puluh satu kok ngasih hadiahnya bola kristal. Papa enggak pernah ngasih contoh romantis ke Indra, sih!" sindir Ajeng.
"Loh? Kok jadi Papa yang salah?" tanya Dimas, kebingungan.
Dika melepaskan pelukannya pada Ranti, dan menghapus airmata itu dari wajah wanita kesayangannya. Ia tersenyum penuh cinta untuk Ranti, sekaligus untuk melepas rindu yang sudah mengakar di dalam hatinya.
"Aku merindukan kamu, Sayang. Aku tidak pernah bisa melupakan kamu, meski aku mencoba dengan keras selama ini. Aku terluka dan hancur disaat bersamaan, ketika kamu memutuskan menerima perjodohan itu dan menikah dengan Saga. Tapi di dalam hatiku, aku tetap mencintai kamu. Aku tidak bisa melepaskan rasa cintaku, hanya karena kamu menikah dengan Saga. Aku tahu, kalau saat itu kamu tidak punya pilihan lain selain menerimanya," ujar Dika, mengungkap semua yang dipendamnya selama ini.
"Aku takut berdosa, Mas. Karena melawan orangtua adalah hal yang paling tidak bisa kulakukan. Aku memang menerima perjodohan itu dan menikah dengan Saga, tapi hatiku tidak ada di dalam pernikahan itu. Terlebih sikap Saga sejak awal memang tidak pernah baik padaku. Bahkan disaat aku tengah hamil pun, dia tega menyiksaku Mas. Aku hanya bertahan demi menjaga nama baik Ibu dan Ayahku saja. Selama lima tahun aku hanya berdiam diri dan tidak mengungkapkannya pada siapa pun, karena aku takut kalau Ghista akan dipisahkan dariku jika aku buka mulut," jelas Ranti, sangat jujur.
"Astaghfirullah, kenapa kamu begitu bodoh dengan terus berdiam diri? Kamu bisa laporkan dia ke Polisi, Sayang. Kamu tidak akan kehilangan Ghista, karena Polisi pasti tidak akan memisahkan Ghista yang masih sangat kecil darimu. Ya Allah, kenapa harus sampai seperti itu penderitaanmu, Sayang?" sesal Dika, seraya menangis dan memeluk Ranti kembali seperti tadi.
"Aku takut, Mas. Aku takut," jawab Ranti.
Shiren, Vika, dan karyawati lain menangis di bagian belakang toko, setelah mendengar semua ungkapan yang Ranti sampaikan pada Dika. Ghista sendiri masih berusaha menghalau airmatanya agar tak terjatuh lagi, terlebih karena kini Indra ada di hadapannya.
"Ngomong-ngomong, kok tumben ya belum ada pengunjung yang datang ke toko hari ini?" tanya Shiren.
"Aku sengaja enggak membalik tanda 'BUKA' di pintu toko, Mbak Shiren. Maaf ya," jawab Ghista, merasa tak enak hati.
"Aduh ... Bu Ghista!!!" tegur semua karyawati.
"O-ow!" Ghista tak bisa melarikan diri.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romansa[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...