Langit di luar begitu cerah pada malam itu. Bulan bersinar dengan sangat terang. Awan-awan menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Angin berembus pelan, membawa setiap partikel yang berterbangan dari atas tanah untuk berpindah ke tempat lain. Malam itu benar-benar tenang, tidak ada satu pun suara yang dapat mengganggu ketentraman para penghuni di Salzburg Residence.
Namun, dikamarnya sendiri, Ghista justru tertidur dengan perasaan yang begitu tak menentu. Ia terus saja bergerak-gerak dengan gelisah di bawah selimutnya pada malam itu. Keringat dingin membanjiri dahi dan lehernya, padahal AC di kamarnya menyala tanpa henti. Mimpi buruk itu kembali lagi, menyapanya untuk yang kesekian kali di sepanjang hidupnya. Bayangan-bayangan yang tak pernah dilihatnya dan tak pernah bisa ia mengerti, terus saja berputar-putar di dalam mimpi tersebut. Membuatnya gemetar ketakutan, di tengah-tengah terpejamnya kedua mata akibat lelah yang mendera.
"ARRGGHHH!!!"
Ghista akhirnya terbangun, usai tak sanggup lagi menyaksikan apa yang ada di dalam mimipinya. Nafasnya naik-turun tak beraturan dan sekujur tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Diraihnya kotak tisu yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Tak lupa dinyalakannya lampu mungil yang memiliki cahaya temaram, di atas meja tersebut. Disekanya keringat menggunakan tisu, lalu disingkapnya selimut yang sejak tadi masih membungkus sebagian tubuhnya di atas tempat tidur. Dinginnya AC tak mampu mengeringkan keringat yang terlanjur membasahi tubuh Ghista. Hal itu membuat Ghista semakin merasa tak nyaman.
Jam di dinding menunjukkan pukul empat pagi, yang artinya saat ini baru tiga jam sejak ia bisa terlelap tadi. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia begitu kesulitan untuk tidur lebih cepat. Rasanya begitu tak nyaman, ketika ia berusaha memaksa matanya agar terpejam. Ia merasa hal itu tidak membantu sama sekali pada proses tidurnya, hingga akhirnya ia jadi lebih sering melanjutkan novelnya di malam hari. Kegiatan itu terus saja berulang di setiap malamnya, yang terkadang membuatnya berpikir untuk segera berkonsultasi pada Dokter.
Setelah selesai mengusap keringatnya menggunakan tisu, Ghista pun melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia merasa harus mencuci mukanya, agar menjadi jauh lebih segar. Air yang dingin tentu bisa membuatnya kembali merasa sejuk, dan berharap agar air itu juga bisa membawa serta mimpi buruk yang menghampirinya. Ia benar-benar lelah akan hal itu, ia merasa penat menghadapi sesuatu yang tak pernah bisa ia mengerti. Membuat dirinya terkadang takut untuk mencoba tidur malam.
Saat Ghista tengah berada di kamar mandi, Ranti membuka pintu kamar itu pelan-pelan, karena takut mengganggu istirahat putrinya. Setelah acara peresmian Salzburg Residence semalam, Ghista tak langsung beristirahat, melainkan melanjutkan tulisannya sampai pukul satu dini hari. Jadi kini, Ranti ingin membangunkannya untuk shalat subuh, namun tentunya tanpa mengagetkan Ghista yang mungkin saja masih mengantuk.
Ranti melangkah pelan menuju tempat tidur yang selimutnya masih terlihat berantakan. Disingkapnya pelan-pelan selimut tersebut, namun ternyata tak ia temukan sosok Ghista di baliknya.
"Ibu? Lagi ngapain?" tanya Ghista, yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Astaghfirullah hal 'adzhim, Ghista! Kamu bikin Ibu kaget, Nak!" seru Ranti, sambil memegangi dadanya yang kini berdebar-debar kencang.
Ghista pun terkikik geli, saat melihat ekspresi Ibunya yang tengah merajuk. Ia berjalan mendekat ke arah Ranti, usai menyimpan handuk kecil yang ia pakai menyeka wajah yang basah, ke tempat semula.
"Maaf, Bu, aku nggak bermaksud mengagetkan Ibu. Aku pikir Ibu enggak akan kaget waktu kutegur. Jadinya ya ... aku tegur dong," ujar Ghista, sambil memeluk Ranti dengan erat.
"Tadinya Ibu mau bangunin kamu. Eh ... kamunya malah enggak ada di tempat tidur. Kamu begadang sampai pagi, ya?" selidik Ranti.
Ghista pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pelan. Ranti pun segera menangkupkan kedua tangannya di pipi Ghista, untuk memastikan kalau putrinya baik-baik saja. Ia begitu khawatir akan kesehatan Ghista yang bisa saja memburuk, karena kini memiliki banyak kegiatan. Ia tak ingin melewatkan hal sekecil apa pun tentang putrinya. Maka dari itu, ia selalu mengajukan banyak pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...