6 | HAMPIR SALAH SANGKA

148 19 0
                                    

Ghista meminum teh melati yang dibuat oleh Ajeng. Ajeng melarangnya pergi terlalu cepat, karena merasa masih rindu pada sosok Ghista yang telah dua puluh tahun tak dilihatnya. Ajeng terus saja merangkul Ghista, selama mereka berbincang dan bahkan beberapa kali wanita paruh baya itu menciumi rambut Ghista yang wangi, persis seperti yang dulu sering Ajeng lakukan saat Ghista masih anak-anak.

Ghista tentunya tidak merasa risih sama sekali dengan perlakuan Ajeng saat itu. Bagi Ghista sendiri, Ajeng sudah seperti Ibu kedua di dalam hidupnya. Ajeng yang begitu lemah lembut, penyayang, dan juga perhatian adalah orang yang paling Ghista rindukan selama dua puluh tahun terakhir. Ghista rindu sambutannya yang hangat, Ghista rindu kasih sayangnya, dan Ghista rindu dengan sikap Ajeng yang selalu menerima kehadirannya seperti pada anaknya sendiri.

Indra memperhatikan kedekatan mereka dan tersenyum diam-diam di tengah rasa haru yang menghantam dadanya. Jujur saja, saat ini Indra tengah mengalami sesal yang begitu besar, karena dulu ia pernah memperlakukan Ghista dengan sangat tidak baik. Dulu ia begitu pencemburu, jika sudah melihat Ghista lebih disayang dan dimanja oleh kedua orangtuanya. Namun kini, rasanya berbeda. Ia merasa sangat lega saat Ghista tetap disayangi oleh kedua orangtuanya, dan ia merasa lega karena Ghista juga membalas kasih sayang orangtuanya dengan begitu tulus.

"Apakah tehnya enak?" tanya Ajeng, yang melihat Ghista terus meminum teh yang ia buat.

Ghista pun mengangguk, mengiyakan pertanyaan Ajeng.

"Di rumah, Ibuku biasanya membuat teh mawar. Nah, di sini aku paling kangen sama teh melati buatan Tante Ajeng. Aku masih ingat, aku pernah demam saat dibawa ke sini oleh Almarhum Eyang Kakung. Tante Ajeng langsung membuatkan aku teh melati dan membaluri punggungku dengan minyak bawang merah. Enggak sampai setengah jam, aku akhirnya bisa bermain-main lagi sama Tante," tutur Ghista, mengenang masa bahagia di dalam hidupnya.

Kedua mata Ajeng pun kembali berembun, usai mendengar penuturan Ghista yang ternyata masih mengingat semua kenangan manis mereka. Ia pun kembali memeluk sosok gadis kecil yang kini sudah bertransformasi menjadi wanita dewasa itu. Di dekapnya dengan erat, sambil terus ia usap punggungnya dengan hangat.

"Duh, Cah Ayuku. Kemana saja kamu, Nak? Kenapa tidak pernah datang selama dua puluh tahun? Tante menunggu kamu datang, Nak. Tante tidak pernah berhenti menunggu," ungkap Ajeng, yang kini sudah kembali menangis di pelukan Ghista.

Ghista balas memeluknya dengan lembut, menepuk-nepuk punggung Ajeng agar tak lagi merasakan sedih. Indra menatapnya dari jauh dan tahu kalau Ghista juga begitu menyayangi Ajeng, layaknya Ibu sendiri. Dimas meremas bahu putranya dengan tegas, hingga membuat Indra menoleh ke arahnya.

"Jangan dilihat terus. Semakin kamu melihatnya, maka kamu akan semakin merasa kehilangan cinta Ibumu. Nanti kamu merasa cemburu lagi terhadap Ghista," saran Dimas.

Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau Mama memang bisa membuat Ghista terus bertahan di samping kita semua, aku ikhlas kasih sayang Mama tercurah sepenuhnya untuk Ghista, Pa. Aku enggak akan lagi merasa cemburu. Bahkan aku sendiri pun akan ikut mencurahkan rasa sayangku padanya. Aku enggak mau lagi kita kehilangan Ghista dan Bibi Ranti. Aku mau kita semua kembali utuh, seperti dulu," balas Indra, dengan tulus.

Dimas pun tersenyum bahagia. Putranya kini telah menjadi seorang pria dewasa dan berpikiran matang. Ia benar-benar merasa lega akan hal tersebut.

Jam telah menunjukkan pukul setengah empat. Ghista dan Indra kini telah berada di dalam mobil. Mereka akan pergi berdua menuju suatu tempat yang Ghista inginkan.

"Sopir dan Sekretarismu tidak ikut?" tanya Indra, yang sudah penasaran sejak tadi.

"Jam kerja mereka bersamaku sudah selesai. Saat ini mereka berdua tengah melakukan tugas yang lain," jawab Ghista, sambil menyalakan mesin mobilnya.

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang