10 | SERBA SALAH

128 16 0
                                    

Ajeng menatap tak percaya ke arah Ghista yang tengah menyajikan makan siang di meja makan rumahnya, meski sambil berselimut. Ghista kecil yang dulu selalu takut mendengar suara minyak goreng meletus, kini telah bertransformasi menjadi Ghista dewasa yang sangat anggun dan bertangung jawab. Sebuah perubahan drastis yang tak pernah Ajeng bayangkan akan terjadi pada diri Ghista.

"Kamu kenapa, Dek? Kok melihat Ghista sampai seperti itu?" tanya Ranti.

"Itu loh, Mbak. Ghista ... kok sekarang dia bisa memasak, ya? Bukannya dulu Ghista paling takut sama suara minyak goreng?" Ajeng bertanya balik pada Ranti.

Ranti pun tertawa saat tahu hal apa yang tengah dipikirkan oleh Ajeng saat itu. Ia menepuk-nepuk bahu Ajeng dengan lembut selama beberapa saat.

"Kamu itu ada-ada saja, Dek. Ghista 'kan sudah besar, tentulah dia tidak akan takut lagi pada suara minyak goreng yang meletus. Ghista memang seorang penulis novel, ditambah lagi sekarang dia adalah pemilik Salzburg Residence, tapi bukan berarti dia akan mengandalkan asisten rumah tangga saja. Di rumah, Bi Asti pun kadang tidak kebagian pekerjaan kalau Ghista sudah membantuku di dapur. Dia itu mandiri dan tidak suka membebani orang lain," jelas Ranti.

"Duh ... Masya Allah sekali Putrimu itu, Mbak. Aku jadi ingin punya anak seperti dia. Bisa diandalkan, dan juga selalu siap sedia untuk melindungi Ibunya. Dia itu hadiah dari Allah atas semua kesabaranmu selama ini, Mbak. Dia itu istimewa," ujar Ajeng, sambil menggenggam erat tangan Ranti.

Dalam hati, Ranti membenarkan hal itu. Ajeng tidak salah ketika menilai Ghista. Ghista adalah sosok yang memang Allah hadiahkan untuk Ranti, sebagai pelipur lara dan juga penopang hidupnya. Tanpa Ghista, ia sudah akan berputus asa dan mungkin tidak lagi memiliki gairah untuk melanjutkan hidup.

"Assalamu'alaikum," suara Indra dan Dimas yang baru saja tiba membuat Ajeng dan Ranti serempak menatap ke arah pintu depan.

"Wa'alaikumsalam."

Indra segera mencium tangan Ranti dengan sopan, sementara Ajeng menyambut suaminya.

"Wah, ternyata Mama serius saat menelepon tadi dan mengatakan bahwa ada Dek Ranti datang ke rumah. Papa pikir tadi Mama cuma main-main, loh," ujar Dimas.

"Mana mungkin Mama main-main, Pa? Papa ini suka ada-ada saja," rajuk Ajeng.

Indra dan Dimas pun terkekeh pelan, saat melihat Ajeng yang merajuk di depan Ranti. Sementara Ranti hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, saat tahu kalau kelakuan Dimas dan Ajeng tak pernah berubah sejak mereka masih muda.

"Ayo, kita langsung makan siang. Makanan sudah siap di meja makan," ajak Ajeng.

Mereka pun segera berjalan menuju ke arah meja makan bersama-sama. Indra dan Dimas melihat Ghista yang tengah berselimut, di dekat meja makan.

"Eh, Om Dimas," sapa Ghista, sambil mencium tangan Dimas.

"Eh, Ghista ikut juga? Kirain Ghista lagi ke lokasi pembanguann, seperti beberapa hari yang lalu," balas Dimas.

"Hari ini lagi enggak ada jadwal kok, Om. Makanya aku bisa mengantar Ibu ke sini, untuk ketemu sama Tante Ajeng," jelas Ghista.

"Oh, kirain kamu ikut ke sini karena mau ketemu sama aku," celetuk Indra.

Ghista tak menanggapinya, lalu segera beranjak kembali ke dapur. Hal itu membuat Dimas, Ajeng, dan Ranti menertawai Indra.

"Sabar ya, Nak Indra. Ghista memang begitu terhadap pria mana pun. Dia sering bersikap seperti itu sejak ...."

Ranti tidak bisa melanjutkan kata-katanya sendiri. Dimas dan Ajeng pun menyadari hal itu, lalu segera mengalihkan perhatian Ranti agar tak kembali memikirkan masa lalu. Indra juga tahu betul apa yang akan Ranti katakan. Ia tahu, kalau luka di hati Ghista memang belum sembuh sama sekali.

"Wah, hari ini Mama masak banyak sekali. Apakah karena ada Bibi Ranti, jadinya Mama masak sebanyak ini?" tanya Indra.

"Mama enggak masak. Enggak ada satu pun makanan yang tersaji di meja ini yang berasal dari hasil masakan Mama. Semuanya Ghista yang masak, Mama tadi dilarang keras menginjak lantai dapur," jawab Ajeng, apa adanya.

"Hah? Ghista yang masak? Sambil berselimut begitu?" Indra tak percaya.

"INDRA!!!" tegur Ajeng dan Ranti, kompak.

Indra pun terpaku di tempatnya, begitu pula dengan Dimas yang baru saja menikmati udang saos padang di piringnya.

"Jangan tegur soal selimut! Ghista lagi sakit pinggang karena datang bulan! Dia lagi kesakitan dan selimut itu adalah kenyamanan yang bisa dia dapatkan saat ini!" omel Ajeng, pada putranya yang sulit menjaga mulut.

Ghista telah kembali ke meja makan sambil membawa sepiring cap-cay seafood. Dia mengambil dua buah piring, lalu mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauk.

"Kamu mau makan sebanyak itu?" tanya Indra, agak kaget.

Ghista pun menghentikan kegiatannya, lalu menatap ke arah Indra dengan datar.

"Enggak, Kak. Ini makanan untuk kedua asistenku yang sedang duduk di ruang tamu. Kalau Kak Indra keberatan mereka ikut makan di rumah ini, maka aku akan makan di restoran bersama mereka," jawab Ghista.

"Eh ... bukan begitu maksudku, Ta. Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu. Demi Allah, Ta," cegah Indra dengan cepat, sebelum Ghista melaksanakan apa yang dikatakannya.

"Indra! Kamu itu enggak mengerti sekali ya kalau Ghista lagi sensitif? Enggak usah tanya-tanyalah, makan saja makananmu," tegur Ajeng.

Ranti hanya terkekeh pelan, saat melihat Ghista dan Indra yang tak pernah akur saat bertemu sejak mereka kecil.

"Ghista, Indra hanya bertanya. Kamu jangan terlalu cepat negatif thingking, dong. Sudah sana, bawakan makan siang untuk Theo dan Vika. Ngambeknya nanti saja di rumah," perintah Ranti.

Ghista pun menuruti apa yang Ibunya katakan. Wanita itu segera membawa makanan untuk Theo dan Vika ke ruang tamu di depan, lalu tak kembali lagi ke meja makan. Dimas memuaskan diri dengan menjewer telinga Indra, karena telah berani mengusik wanita yang tengah datang bulan.

"Sudah tahu wanita itu selalu sensitif saat datang bulan, masih juga kamu ganggu!" omelnya.

"Ampun, Pa, ampun," ringis Indra.

"Sudah ... sudah ... itu salahnya Ghista yang terlalu sensitif pada pria. Maafkan sikapnya ya, Nak Indra," pinta Ranti.

Indra pun tersenyum ragu-ragu, karena merasa tak enak pada Ranti. Bagaimana pun, seharusnya ia tak menegur Ghista hanya karena perkara mengambil banyak makanan. Ghista adalah tamu di rumahnya, dan seharusnya ia memperlakukannya dengan baik.

Indra memutuskan membawa piringnya ke ruang tamu, untuk menyusul Ghista. Theo dan Vika terlihat sedang makan berdua di teras, sementara Ghista sedang melanjutkan tulisannya sambil berselimut di lantai ruang tamu. Indra pun duduk di sampingnya, lalu menyodorkan sendok berisi nasi dan udang saos padang.

"Ayo makan, biar aku suapi," ujar Indra, sangat halus.

Ghista pun membuka mulutnya, dan membiarkan pria itu menyuapinya. Ia tahu, kalau Indra tengah berusaha memperbaiki segalanya yang pernah terjadi di antara mereka.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang