"Sabar dulu, Nak. Jangan langsung mengambil kesimpulan sendiri," bujuk Ranti.
Ghista pun kembali menatap ke arah Ibunya.
"Bu, apa lagi yang bisa kita lakukan saat ini selain menyimpulkan semua kelakuan Saga Rahaja dan kelakuan Keluarga Rahaja? Kita benar-benar ditendang oleh mereka, dan sekarang aku curiga kalau kematian Almarhum Eyang Kakung dan Almarhumah Eyang Suri ada hubungannya dengan mereka. Ibu tidak perlu membuatku tenang jika memang ada ketidakadilan yang kita terima. Aku berhak marah. Bukan karena aku tak diakui sebagai ahli waris keluarga mereka, tapi karena mereka sudah menyakiti Ibu secara fisik maupun batin. Aku tidak bisa terima hal itu, Bu. Aku tidak bisa menerimanya!" tegas Ghista.
Ranti mulai menangis pelan, sambil tetap mengusap lengan Ghista.
"Ibu hanya tidak mau kehilangan kamu, Nak. Ibu hanya punya kamu, Ibu tidak mau terjadi apa-apa padamu," ungkap Ranti, dengan jujur.
"Bu, aku baik-baik saja. Ibu tidak perlu khawatir. Aku juga tidak akan menuntut mereka mengembalikan harta yang sudah mereka ambil. Aku hanya ingin ada keadilan yang ditegakkan di sini," jelas Ghista, berusaha meyakinkan Ranti.
"Ghista benar, Dek. Kalau kita diam terus seperti ini, maka tidak akan pernah ada keadilan yang ditegakkan untuk Almarhum Pakde Rama dan Almahumah Bude Arum," Dimas ikut berupaya meyakinkan Ranti.
"Bibi tidak perlu khawatir, kami tidak akan membiarkan Ghista sendirian saat mencoba untuk mengungkap kematian Kakek Rama dan Nenek Arum. Ghista tidak sendirian, Bi. Percayalah," Indra menambahkan.
Ranti pun memeluk Ghista erat-erat, lalu menangis lebih keras di sana. Ghista membalas pelukan Ibunya untuk membuatnya tenang. Vika berjalan mendekat ke arah meja yang mereka tempati tak lama kemudian.
"Permisi, Bu Ghista. Jadwal kunjungan ke Salzburg Residence Blok H akan segera tiba. Apakah kita akan berangkat sekarang?" tanya Vika.
"Iya, Vi. Kita akan berangkat sekarang," jawab Ghista.
"Kalau begitu saya akan mengatakan pada Theo untuk bersiap-siap di mobil," pamit Vika.
Ghista kini menatap Ranti yang tengah menghapus airmatanya. Indra terus memperhatikan Ghista sejak tadi.
"Bukankah, kamu dulu bercita-cita ingin jadi penulis novel, ya?" tanya Indra.
"Iya, Kak. Aku memang penulis novel. Hanya saja, karyaku hanya bisa dinikmati secara online, bukan dalam bentuk buku," jawab Ghista.
"Oh, begitu? Lalu, di Salzburg Residence kamu kerja sebagai apa? Pengawas?" tanya Indra, lagi.
"Pemilik, Nak. Dia pemilik sekaligus CEO di Salzburg Recidence. Ghista membangun Salzburg Residence dari hasil penjualan novel onlinenya selama ini. Sekarang dia punya banyak kegiatan, yaitu menulis, membantu Bibi di toko, dan juga mengawasi pembangunan Salzburg Residence," jelas Ranti, mewakili Ghista.
"Wah, Ghista ternyata punya banyak keahlian ya. Sekali-sekali nanti tolong ajari Indra, ya, biar dia bisa mandiri juga seperti kamu," pinta Dimas, merendah.
Ghista pun tersenyum.
"Aku justru mempelajari masalah menghandle banyak pekerjaan dari Kak Indra loh, Om. Dulu Kak Indra sering mengajariku untuk memegang banyak pekerjaan sekaligus, tanpa membuang-buang waktu. Sepertinya, aku yang harus lebih belajar lagi dari Kak Indra," tanggap Ghista.
"Dengan senang hati, aku mau kok mengajari kamu lagi seperti dulu saat kita masih SMP," sahut Indra, dengan perasaan bahagia.
Ghista menatap Indra selama beberapa saat, lalu kembali tak menanggapi apa yang pria itu katakan. Ia lebih memilih untuk segera beralih kembali pada Ranti dan memperhatikan Ibunya dengan lebih protektif, ketimbang menanggapi Indra yang tengah berusaha membangun kembali hubungan yang sudah retak di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romantizm[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...