32 | RENCANA GHISTA

149 22 0
                                    

"Wah ... Adikku berkembang dengan sangat baik. Aduh, anak pintar. Sini, Kakak sayang dulu," ujar Ghista, lalu mulai menciumi perut Ibunya dengan penuh kasih sayang.

Ghista pun segera beranjak ke ruang depan untuk memamerkan hasil foto USG yang dipegangnya. Ajeng dan Ranti hanya bisa tertawa, saat melihat bagaimana girangnya Ghista saat melihat hasil foto USG yang Dika berikan tadi. Mereka kadang tidak percaya kalau Ghista bisa bersikap sangat lucu seperti itu, karena Ghista yang biasa mereka lihat adalah Ghista si pendiam yang hanya berbicara seperlunya saja.

"Aku curiga ... nanti kalau Mbak Ranti akhirnya melahirkan, Ghista yang akan mengurus Adiknya bukannya Mbak sendiri," ujar Ajeng.

"Bukankah sudah terlihat akan jadi seperti itu, Dek? Jelas Ghista akan menjadi orang nomor satu yang akan mencintai Adiknya saat lahir nanti. Aku dan Mas Dika sudah siap jika harus tereliminasi, karena rasa sayang Ghista akan terfokus pada Adiknya," balas Ranti.

"HA-HA-HA-HA!!!" semua orang tertawa lepas malam itu.

"Ya Allah, Mbak Ranti. Bisa-bisanya sih Mbak berpikir akan tereliminasi hanya karena Ghista jauh lebih sayang pada Adiknya? Sudah jelas tidak begitu, Mbak. Ghista justru akan semakin sayang pada Mbak Ranti dan Mas Dika. Percayalah sama aku," Ajeng berusaha meyakinkan Ranti.

Dika datang mendekat lalu duduk di samping istrinya.

"Bukan begitu, Dek Ajeng. Mbakmu ini sedang merasa cemburu pada calon bayinya, karena Ghista begitu perhatian dan overprotektif pada calon Adiknya. Intinya, ini hanyalah perkara hormon yang sedang naik-turun," jelas Dika.

"Owalah, jadi Mbak Ranti sedang cemburu karena Ghista jauh lebih perhatian pada calon Adiknya? Masya Allah Mbak, tidak perlu cemburu. Ghista itu selama ini hanya tumbuh seorang diri tanpa saudara, makanya dia sangat bahagia sekali karena akan segera memiliki Adik. Tidak perlu dicemburui, justru Mbak Ranti harus ikut senang dengan sikap Ghista. Jarang-jarang loh, ada anak yang begitu ikhlas saat Ibunya akan memiliki anak lagi, terutama disaat anak tersebut sudah beranjak dewasa seperti Ghista," jelas Ajeng.

"Tuh, dengar sendiri 'kan kata-kata Dek Ajeng. Sama persis loh, dengan apa yang aku sampaikan sama kamu. Bahwa kita seharusnya merasa bersyukur, karena Ghista bisa menerima kehadiran calon Adiknya diusia yang sudah beranjak dewasa," ujar Dika, sambil memakaikan sweater pada tubuh Ranti agar tidak kedinginan.

Ranti pun tersenyum dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Entahlah ... entah kenapa aku yang malah jadi labil seperti ini. Mungkin karena selama ini aku selalu menerima kasih sayang sepenuhnya dari Ghista. Jadi, aku agak tidak rela kalau dia membagi kasih sayangnya. Duh ... aku malah jadi seperti anak kecil sekarang," ungkap Ranti, sambil meraih tisu untuk menyeka airmatanya yang mulai membanjir.

Ajeng dan Dika sangat mengerti akan hal itu. Mereka tahu, kalau selama ini hanya ada Ranti dan Ghista saja tanpa ada kehadiran orang lain. Sementara nanti, akan ada perubahan yang begitu besar setelah bayi yang tengah dikandung oleh Ranti lahir. Dan tentu saja, hal itu membutuhkan adaptasi yang lebih berat ketimbang sebelumnya.

Dimas dan Indra datang untuk menjemput Ajeng, tak lama kemudian setelah jam kerja di kantor selesai. Dimas membawakan oleh-oleh untuk Ranti dan Dika, sementara Ghista sibuk memperlihatkan foto hasil USG calon Adiknya pada Indra.

"Wah, Alhamdulillah perkembangan janinnya sangat bagus. Jangan lupa untuk jaga kesehatan dan minum vitamin ya, Dek," pesan Dimas.

"Insya Allah, Mas. Alhamdulillah Mas Dika dan Ghista tidak pernah lupa mengingatkan aku setiap saat," ujar Ranti, bahagia.

Ghista duduk di samping Ibunya, dan mulai mengupas buah mangga yang diambilnya dari kulkas.

"Ayo, Ibu makan buah, biar pencernaannya juga sehat. Kalau dedeknya sehat tapi Ibunya sakit, nanti akan berimbas juga pada dedek bayinya," ujar Ghista, sambil menyuapi mangga yang sudah dikupasnya ke mulut Ranti.

"Duh ... kok jadi kamu yang lebih hafal sama kondisi Ibu hamil, ketimbang Ibu hamilnya sendiri?" tanya Indra, sambil tertawa pelan.

"Iya, sengaja kupelajari mulai sekarang. Biar Kakak tahu apa saja yang harus dilakukan, kalau aku hamil setelah kita menikah nanti," jawab Ghista, santai.

"Eh ... sudah berencana mau punya anak toh? Wah, berarti tidak lama lagi kalian akan menuju pelaminan, 'kan?" goda Ajeng.

Ranti pun terkikik geli, saat melihat wajah Ghista yang mulai kembali berwarna-warni seperti pelangi. Dika memberikan selembar tisu pada Ghista, agar putrinya itu bisa menutupi wajah.

"Kalian ini ada-ada saja. Pokoknya kami enggak mau menunggu terlalu lama, ya. Cepat-cepat putuskan, kapan akan menikah. Biar kami siap untuk mengurus semuanya," ujar Dimas.

"Betul itu. Jangan mendadak, ya. Ibu dan Ayah juga 'kan harus membuat banyak persiapan untuk hari pernikahan kalian," tambah Ranti.

"Bisa kita membahas yang lain, enggak? Aku benar-benar malu loh, ini," pinta Ghista, sambil benar-benar menutupi wajahnya dengan tisu pemberian Dika.

Mereka semua tertawa lepas tanpa beban. Ghista akhirnya memilih bersembunyi ke dalam pelukan Indra, agar wajahnya tidak terlihat sama sekali. Bi Asti datang menyajikan puding cokelat strawberi yang dingin, untuk dijadikan cemilan oleh semua orang.

"Oh ya, Ghista. Ada hal yang ingin Om bicarakan dengan kamu," Dimas kini menatap Ghista dengan serius.

Indra pun--yang tadinya masih bersikap santai--kini ikut menatap serius pada Ghista yang sudah tak berada di dalam pelukannya. Melihat kedua tatapan itu, Ghista pun bisa menduga tentang apa hal yang akan dibicarakan dengannya.

"Om Dimas pasti mau membicarakan mengenai saham RHJ Corp yang anjlok total hari ini, 'kan?" tebak Ghista, tetap santai.

Ranti, Ajeng, dan Dika pun seketika berhenti menikmati puding yang tersaji di hadapan mereka. Semua tatap kini terarah pada Ghista.

"Sementara itu saham WR Group melonjak naik, karena aku sengaja mengarahkannya ke perusahaan yang Om Dimas miliki. Hal itu kulakukan bukan untuk mengambil alih harta Keluarga Rahaja. Tapi hal itu kulakukan untuk mengembalikan hak milik yang sesungguhnya pada orang-orang yang telah dicurangi oleh Keluarga Rahaja, sebelum mereka mencurangi Keluarga Mahardika," jelas Ghista, bahkan sebelum ada yang mengajukan pertanyaan.

"Maksud kamu apa, Nak? Siapa orang-orang yang telah dicurangi oleh Keluarga Rahaja, selain keluarga kita?" tanya Ranti, sangat ingin tahu.

Ghista menatap Ibunya, sambil menggenggam erat tangannya.

"Orang-orang itu adalah ...."

Drrrttt!!! Drrrttt!!! Drrrttt!!!

Ponsel Ghista bergetar tiba-tiba dan membuat Ghista membatalkan penjelasannya pada Ranti. Ia segera mengangkat telepon itu di hadapan semua orang.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Ghista.

Ghista terdengar sedang mendengarkan apa yang dikatakan oleh si penelepon pada saat itu.

"Sekarang? Dia sudah menuju ke sini?" tanya Ghista, ingin memastikan dengan lebih teliti.

Semua orang yang menatapnya kini menjadi ikut cemas. Namun tampaknya, Ghista tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

"Kalau begitu, kamu harus keluar sekarang juga dari dalam rumah Keluarga Rahaja. Datang ke sini, karena tugasmu sudah selesai. Saya akan selesaikan yang harus saya selesaikan," perintah Ghista.

Ia segera menutup telepon itu, lalu menatap ke arah semua anggota keluarganya.

"Tolong, kalian semua naik ke atas dan jangan turun sampai aku memperbolehkan," pinta Ghista.

"Ghista ... ada apa ini, Nak? Mengapa harus sampai jadi begini?" tanya Ranti, ketakutan.

"Bu, inilah rencanaku. Ibu tidak usah takut. Aku akan menghadapi semua yang sudah aku mulai," jawab Ghista, dengan sangat jelas.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang