16 | PENGALIHAN

140 19 0
                                    

"Vi, tolong sekarang juga kamu ajak Ibu saya berbelanja furniture. Bilang padanya, Ghista meminta kamu untuk menambah kursi dan meja yang ada di MHD Bakery, agar pengunjung yang makan di sana bertambah banyak," pinta Ghista.

"Baik, Bu Ghista. Apakah ada lagi yang harus saya jadwalkan, Bu?" tanya Vika.

"Ya, sekalian jadwalkan untuk mendekorasi ulang MHD Bakery, besok pagi sekitar jam sembilan. Pokoknya tolong buat sealami mungkin dan buat Ibu saya tidak curiga akan apa pun dari kegiatan itu," jawab Ghista.

"Baik, Bu Ghista. Akan segera saya jalankan misi yang anda berikan."

"Oke, terima kasih sebelumnya ya, Vi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sambungan telepon itu pun akhirnya terputus. Indra menatap ke arah Ghista dengan kedua mata menyipit sejak tadi.

"Kamu kebanyakan nonton Drama Korea, ya? Bisa-bisanya kamu kepikiran untuk membuat situasi yang begitu alami, demi mempertemukan Bibi Ranti dan Pak Dika," sindir Indra.

Ghista memutar kedua bola matanya dengan sebal, ke arah Indra.

"Aku enggak pernah punya waktu untuk nonton Drama Korea ya, Kak. Aku cuma ingin membuat situasi jauh lebih alami saja, saat Ibuku bertemu dengan Pak Dika, besok. Enggak lebih," balas Ghista.

"Bilang saja, kalau sebenarnya kamu enggak mau Ibumu tahu, kalau kamu sudah berjuang keras untuk menemukan Pak Dika demi Beliau," tebak Indra.

"Nah, itu Kakak pintar. Kenapa harus bertanya lagi coba?" Ghista balas menyindir.

Dika hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, saat melihat kedua insan itu terus saja saling menyindir tanpa henti.

"Ada yang pernah bilang pada kalian enggak, bahwa kalian itu cocok dan serasi sekali satu sama lain?" celetuk Dika, pada akhirnya.

Indra dan Ghista pun akhirnya kembali menatap ke arah Dika dengan kompak.

"Pak Dika sudah siap? Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Ghista, mengalihkan perhatian.

"Iya, Pak. Barang bawaan Bapak yang mana saja? Mari, biar saya bawa dan simpan ke bagasi," tawar Indra, yang juga ikut mengalihkan perhatian.

Dika pun hanya bisa menahan tawanya, saat melihat Ghista dan Indra salah tingkah dengan cara masing-masing. Sikap mereka yang seakan acuh tak acuh, sama sekali tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ada perasaan yang lain di antara mereka. Bodohnya, mereka terus saja berusaha untuk menepis rasa itu.

"Hm ... inilah yang disebut kebodohan yang sesungguhnya," gumam Dika, seraya berjalan di belakang Ghista dan Indra yang sudah lebih dulu sampai ke mobil.

* * *

Ranti melihat-lihat beragam furniture keluaran terbaru, bersama Ajeng yang tadi diteleponnya dan diminta untuk menemani. IKEA sore itu tak terlalu ramai pengunjung, sehingga memudahkan kedua wanita paruh baya tersebut untuk berkeliling melihat-lihat semuanya. Vika dan Theo berjalan di belakang mereka, mengawal mereka seperti yang Ghista inginkan.

"Tumben sekali Ghista memintaku untuk belanja furniture seperti ini sendirian. Entah apa yang merasuki pikirannya disaat sedang berlibur dengan Indra saat ini. Bukannya benar-benar berlibur, dia malah memikirkan tokoku yang harus di desain ulang," curhat Ranti.

Ajeng tertawa pelan.

"Mungkin Indra sedang membuatnya kesal, jadi Ghista melampiaskan kekesalannya untuk meminta Vika dan Theo membawa Mbak Ranti berbelanja furniture. Indra memang selalu saja sukses jika sudah membuat mood seseorang rusak berat," tanggap Ajeng.

Ranti pun--mau tak mau--ikut tertawa bersama Ajeng, usai mendengar prediksi kemungkinan yang sedang terjadi antara Indra dan Ghista di tengah-tengah liburan mereka. Theo dan Vika hanya bisa tertawa diam-diam, karena tentu mereka jauh lebih tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi antara Ghista dan Indra.

"Eh, yang ini bagus loh, Mbak Ranti. Sepertinya cocok dengan konsep tokomu yang minimalis," saran Ajeng.

"Hm ... sepertinya kamu benar, Dek. Ini bagus, hanya tinggal mencari warna yang cocok saja dengan warna dinding tokoku," tanggap Ranti.

"Nah, kalau begitu sekarang kita tanya stok warnanya, Mbak," ajak Ajeng.

Vika dan Theo mendekat pada salah seorang pegawai yang ada di sana, untuk menunjukkan stok warna seperti yang Ranti dan Ajeng inginkan. Setelah beberapa lama, setelah memilih-milih, akhirnya pilihan Ranti benar-benar jatuh pada furniture yang ditunjuk oleh Ajeng. Mereka segera melakukan pembayaran dan meminta furniture itu diantar besok, pagi-pagi sekali.

Keluar dari IKEA, Ranti dan Ajeng tak langsung ingin pulang. Mereka singgah pada sebuah restoran untuk makan bersama.

"Duduk di sini saja, Theo. Kami bertiga enggak akan menggigitmu, kok," panggil Ajeng, sangat memaksa.

Theo pun akhirnya tak punya pilihan, selain mengikuti apa yang Ajeng mau saat itu. Terlebih karena Ranti juga ikut memanggilnya untuk duduk bersama.

"Aku masih membaca novel karangan Ghista loh, Mbak. Itu, yang judulnya Bentang Luka Dunia Gracie. Ceritanya sangat menyentuh dan dalam. Aku sampai nangis kalau membaca novel itu," ungkap Ajeng.

"Oh, ya? Aku yang Ibunya sendiri malah enggak pernah sama sekali membaca novel karangannya. Memangnya ceritanya sebagus itu, sehingga kamu sampai menangis?" tanya Ranti.

"Iya, Mbak. Sebagus itu novelnya. Tebakanku sih, tokoh Gracie yang ada di dalam cerita itu adalah Ghista sendiri di kehidupan nyata. Masalahnya, jalan cerita novel itu sesuai dengan yang terjadi padamu dan Ghista," jawab Ajeng.

Ranti pun mendadak terdiam. Ia kini tengah menduga-duga, apakah benar kalau salah satu novel yang ditulis oleh Ghista adalah tentang kisah hidupnya sendiri?

"Dan aku menduga, kalau tokoh Raksa di dalam novel itu adalah Indra," tambah Ajeng.

UHUKKKK!!!

Vika pun tersedak oleh minuman yang tengah diminumnya, sementara Theo terkikik geli usai mendengar tebakan Ajeng.

"Yes! Ada yang sependapat denganku, ternyata," seru Theo, begitu senang.

"Loh? Kamu juga berpikir begitu? Kok bisa, ya?" tanya Ajeng.

"Karena setiap kali Bu Ghista sedang bersama Pak Indra, tokoh Gracie di dalam novel pun tertulis sedang bersama tokoh Raksa, Nyonya Ajeng. Contohnya, seperti saat ini. Lanjutan ceritanya sudah ada dan tengah menggambarkan bahwa tokoh Gracie sedang berlibur bersama tokoh Raksa, menuju Lembang," jelas Theo.

Ajeng dan Ranti pun ternganga bersamaan, lalu tertawa saat benar-benar yakin bahwa novel itu memang tentang hidup Ghista sendiri.

"Itu masih teori, Nyonya Ajeng ... Nyonya Ranti ... jangan percaya seratus persen pada teorinya Theo," saran Vika.

"Eh? Bilang saja kamu enggak mau kalah dari aku. Kamu pasti takut salah tebak, 'kan?" duga Theo.

"Bukan begitu, Theo. Hanya saja 'kan terlalu tidak mungkin kalau novel itu tentang hidup Bu Ghista sendiri. Masa sih, Bu Ghista blak-blakan menulis kisah hidupnya dan menggambarkan bagaimana mencekamnya saat orang-orang suruhan Keluarga Ramadi hendak membunuh Gracie dan Ibunya di hari mereka melarikan diri? 'Kan itu tidak mungkin, Theo!" tegas Vika.

"Itu benar, Vika," sela Ranti, yang kini tak lagi tersenyum.

Ajeng, Vika, dan Theo pun menatapnya dengan ekspresi terkejut yang sama.

"Itulah yang terjadi dua puluh tahun lalu pada saya dan Ghista. Keluarga Rahaja menyuruh orang-orang suruhannya, untuk mencari kami berdua, sekaligus untuk membunuh kami. Dan keadaan saat itu, memang benar-benar mencekam," jelas Ranti, dengan kedua tangan yang gemetar usai mengingat kenangan kelam itu.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang