Ghista berlari sekuat tenaga, saat turun dari mobil yang baru diparkirkan oleh Theo. Pikirannya kacau setengah mati dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berusaha untuk segera mencari keberadaan Saga saat itu.
"Suster, di mana letak ruang ICU??? Di mana suster???" tanya Ghista.
"Ibu keluarga pasien? Atas nama siapa, Bu?" tanya suster tersebut.
"Sagara Rahaja, Sus. Usianya empat puluh tujuh tahun. Korban kecelakaan lalu lintas," jawab Ghista.
"Oh, silakan lewat sini, Bu," Suster tersebut pun segera mengantar Ghista menuju ke ICU.
Dokter yang tengah merawat Saga menatap ke arah Ghista, saat Suster mengantarnya.
"Ini anggota keluarga pasien, Dok," ujar Suster tersebut.
"Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?" tanya Ghista, yang gemetar saat melihat kondisi Saga.
"Pasien butuh transfusi darah dengan golongan ...."
"B rhesus positif. Ambil darah saya, Dok. Darah saya sama dengan darah Ayah saya," pinta Ghista, tak membiarkan Dokter terlalu berbasa-basi.
"Baiklah kalau begitu, anda akan segera dipersiapkan oleh Suster untuk bisa langsung mendonorkan darah anda," ujar Dokter tersebut.
Ghista pun diminta untuk berganti pakaian sebelum darahnya diambil untuk di donorkan pada Saga. Setelah semua persiapan selesai, Ghista pun berbaring di tempat tidur yang ada di samping Saga. Darahnya mengalir dan berpindah ke dalam tubuh Saga perlahan-lahan.
Theo menatapnya dari luar ruang ICU, dan mengabarkan semuanya pada Ranti yang tengah bersama dengan Vika. Ranti terus berdoa agar semuanya baik-baik saja. Ia mungkin merasa marah pada apa yang pernah Saga lakukan di masa lalu. Namun bagaimanapun juga, Saga tetaplah Ayah kandung putrinya yang tidak akan pernah bisa Ghista tinggalkan.
Gunardi mencoba menghubungi Rima, namun terus saja gagal. Ia sudah menghubungi Widya dan menjelaskan situasinya saat ini. Leo ada di ruang operasi dan belum ada kabar terbaru mengenai kondisinya.
Tiga jam berlalu, Saga akhirnya membuka kedua matanya dan melihat Ghista yang berada di ranjang bagian samping. Ia melihat kantong darah dan juga selang yang terpasang di antara tangannya dan tangan Ghista.
"Ghis ... ta ...." desisnya, pelan.
Ghista pun terbangun, lalu bangkit untuk melihat keadaan Saga. Ia mendekat dan memastikan Saga benar-benar sadar.
"Tunggu ... jangan bergerak dulu. Tunggu ...." pinta Ghista.
Wanita itu segera melambaikan tangannya pada Theo yang berada di luar ruang ICU. Theo melihat hal itu dan begegas masuk.
"Panggilkan Dokter," pinta Ghista.
"Baik, Bu Ghista," jawab Theo.
Theo pun segera menutup kembali pintu ruang ICU tersebut.
"Dokter, pasien sadar!" seru Theo.
Dokter yang tengah berbicara dengan Gunardi pun segera berlari menuju ke ruang ICU. Gunardi tetap berada di luar, sementara Dokter masuk untuk memerikasa kondisi Saga.
"Pasien sadar tiga menit yang lalu, Dokter," lapor Ghista.
"Ada respon atau interaksi dari pasien?" tanya Dokter.
"Ada, Dok. Ada interaksi. Dia menyebut nama saya, tapi pelan sekali," jawab Ghista.
Saga mendengar semua jawaban-jawaban itu. Ia merasa sedikit tenang karena Ghista masih tetap bersedia mendampinginya, meski telah banyak luka yang pernah ia beri pada putrinya tersebut.
"Saat ini kondisi Ayah anda telah stabil. Hanya perlu dibiarkan beristirahat saja hingga keadaannya pulih kembali. Transfusi darah itu akan tetap berlangsung, sampai ada hasil pemeriksaan lanjutan," ujar Dokter.
"Terima kasih atas penjelasannya, Dokter," ucap Ghista.
"Sama-sama."
Dokter pun keluar dari ruangan tersebut, Theo dan Gunardi masuk bersamaan untuk melihat kondisi Saga dan Ghista.
"Theo, tolong pindahkan Ayah saya ke ruangan VVIP, agar beliau bisa tetap nyaman selama menjalani perawatan," pinta Ghista.
"Baik, Bu Ghista."
Theo segera kembali keluar untuk mengurus administrasi. Ghista kini menatap ke arah Gunardi.
"Sudah ada kabar dari Istrinya?" tanya Ghista, jauh lebih tegas.
"Maaf Non Ghista, sampai saat ini Nyonya Rima tidak bisa dihubungi," jawab Gunardi.
"Astaghfirullah hal 'adzhim! Ke mana wanita itu sebenarnya? Anak dan Suaminya kecelakaan, kok dia malah tidak bisa dihubungi? Cari dia sekarang, kalau perlu seret dia ke sini!" perintah Ghista.
Widya--yang baru saja tiba di ambang pintu--mendengar dengan jelas apa yang Ghista perintahkan pada Gunardi. Ia bisa merasakan amarah yang begitu besar di dalam setiap kata yang Ghista keluarkan, namun hanya dilepaskan melalui perintah bukan melalui ledakan emosi.
Ghista kembali melihat keadaan Saga yang masih begitu lemah.
"Mau minum?" tanya Ghista.
Saga hanya bisa mengangguk pelan sekali. Ghista segera mengambilkan air minum beserta sedotan dan mengarahkannya ke mulut Saga. Widya mendekat pelan-pelan, lalu menyentuh bahu Ghista dengan tangannya yang gemetar karena takut.
"Ghista," panggilnya.
Ghista menoleh dan menatap tak peduli pada Widya.
"Bagaimana kondisi Ayahmu?" tanya Widya.
"Menurut anda? Bukankah anda yang seharusnya jauh lebih tahu, tentang kondisi Putra anda? Kenapa tanya pada saya? Kenapa anda menyerahkan Ayah saya pada wanita yang tidak bisa mengurusnya? Apakah sudah tidak ada wanita lain yang jauh lebih pantas untuk mendampinginya?" Ghista menikam hati Widya dengan telak, persis seperti yang ia lakukan pada Saga tadi malam.
Widya kini tak berani menatap ke arah Ghista. Tubuhnya semakin gemetar luar biasa usai mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang keluar dari mulut Ghista.
"Cucu anda sedang berada di ruang operasi. Tunggui saja dia, karena Ibunya entah berada di mana saat ini," saran Ghista pada Widya.
"Tapi, Ayahmu ...."
"Dia urusan saya. Saya yang akan mengurusnya!" tegas Ghista, tak ingin memberikan celah pada Widya.
Widya pun mundur, lalu hendak berjalan keluar dari ruangan itu. Namun langkahnya terhenti, saat Dokter muncul di ambang pintu.
"Pasien atas nama Leo membutuhkan donor darah," ujar Dokter.
"Apakah golongan darahnya B rhesus positif, juga? Kami saudara, meski tidak satu Ibu," tanya Ghista.
Dokter menatap ke arah Ghista, ragu-ragu.
"Ibunya ada di depan ruang operasi. Tapi golongan darahnya tidak cocok dengan golongan darah pasien," Dokter berusaha menjelaskan.
"Berarti golongan darahnya sama seperti golongan darah Ayah saya dan golongan darahnya sama juga seperti golongan darah saya," Ghista mengulang kata-katanya.
"Itu dia masalahnya, Bu Ghista," Theo menyela kata-kata Dokter.
Ghista menatap ke arah Theo yang berdiri bersama Gunardi yang terlihat begitu ketakutan.
"Apa maksudnya itu, Theo? Masalah apa yang kamu maksud?" tanya Ghista, kebingungan.
Saga yang masih lemah pun ikut menatap ke arah Gunardi, sama seperti yang Ghista lakukan.
"Golongan darahnya juga berbeda dari golongan darah Ayah anda, Bu Ghista," jawab Theo. "Hasil tes DNAnya menyatakan bahwa ... Leo bukanlah anak dari Bapak Saga Rahaja," tambahnya.
DEG!!!
Widya pun menutup mulutnya, sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sakit, usai mendengar kenyataan itu. Widya ambruk seketika, sementara Saga kembali tak sadarkan diri.
"AYAH!!! BANGUN YAH!!! DOKTER, TOLONG AYAH SAYA!!!" Ghista pun kembali panik.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...